Koran Sulindo – Dua dekade telah berlalu sejak Reformasi 1998 berhasil menggulingkan rezim militer Presiden Soeharto yang korup. Namun hingga kini nyaris tidak terjadi perubahan yang mendasar – jika tidak ingin mengatakan kemunduran – dalam agenda pemberantasan korupsi.
Walaupun secara umum ada peningkatan capaian pemberantasan korupsi seperti tergambar lewat Corruption Perception Index maupun Control of Corruption, di berbagai level pemerintahan korupsi beramai-ramai tetap terjadi.
Satu contoh menonjol adalah korupsi pengadaan Kartu Tanda Penduduk eletronik (E-KTP) yang melibatkan pengusaha, anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan pejabat tinggi pemerintahan.
Skandal-skandal itu menunjukkan bagaimana institusi demokrasi seperti DPR, DPRD, dan partai politik yang didirikan untuk membantu memberantas korupsi sebagai salah satu pilar reformasi tahun 1999 telah menjelma menjadi episenter korupsi itu sendiri dengan modus dan besaran yang semakin mengkhawatirkan.
Baru-baru ini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memperingatkan titik-titik rawan korupsi dalam penyaluran bantuan sosial terkait wabah COVID-19. Salah satu titik rawan adalah perubahan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
Penyusunan atau perubahan anggaran – baik lewat undang-undang (UU) di tingkat nasional (APBN) maupun lewat peraturan daerah di tingkat daerah (APBD) – mensyaratkan adanya persetujuan bersama antara eksekutif dan legislatif.
Dalam penelitian saya mengenai dampak institusi politik pada korupsi, saya mengamati kasus-kasus korupsi dalam penyusunan atau perubahan APBN/APBD. Saya melacak kasus korupsi politik yang menonjol antara 1999 dan 2019.
Kasus-kasus ini antara lain kasus korupsi Wisma Atlet, dan kasus korupsi pengadaan E-KTP di tingkat nasional dan di level daerah (Sumatra Barat, Sumatra Utara, Jambi, dan Kota Malang).
Riset saya menunjukkan bahwa korupsi beramai-ramai pada masa Reformasi disebabkan oleh akibat adanya celah dalam kelembagaan demokrasi yang memberikan aktor ruang “demokratis” untuk melakukan korupsi.
Penyederhanaan konfigurasi politik adalah salah satu cara yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini.
Veto sebagai Alat Transaksi
Saya melakukan riset dengan mengacu pada teori veto player. Veto player adalah aktor yang memiliki kekuasaan atau otoritas untuk menyetujui atau menolak sebuah agenda kebijakan.
Konfigurasi pemegang veto mempengaruhi lamanya proses pembuatan kebijakan maupun komitmen sebuah rezim untuk mempertahankan kebijakan yang sudah diambil.
Dalam pengaturan kelembagaan yang terpusat (pemegang veto sedikit) seperti pada masa Orde Baru, pemerintah dapat mengambil kebijakan secara cepat.
Pada masa reformasi, dengan sistem multipartai yang ekstrem (9-10 partai efektif di parlemen tingkat nasional, sedikit lebih rendah di tingkat daerah), kekuasaan menjadi terfragmentasi karena pemegang veto menjadi banyak. Situasi seperti ini menyumbang pada kemampuan rezim untuk mempertahankan sebuah kebijakan dalam jangka panjang.
Dalam kasus penyusunan atau perubahan APBN/APBD, kehadiran banyak pemegang veto berimplikasi pada lamanya proses penyusunan dan keharusan bernegosiasi sebelum sebuah keputusan bisa diambil.
Pengaturan kelembagaan yang berangkat dari checks and balances justru menimbulkan kerumitan dalam proses kebijakan karena sebagian besar atau semua pemegang veto harus sepakat agar APBN/APBD bisa disetujui.
Keharusan adanya kesepakatan bersama menjadi perangkap (joint-decision trap) dengan kemungkinan jalan buntu (deadlock).
Untuk menghindari kebuntuan sekaligus agar untuk mengesahkan dokumen anggaran tepat waktu, pihak eksekutif tidak punya pilihan kecuali meminta dukungan parlemen.
Ini kemudian di(salah)gunakan oleh parlemen untuk meminta “uang ketok palu”. Inilah yang terjadi dalam kasus Wisma Atlet, E-KTP dan berbagai kasus korupsi besar di daerah. Dalam kasus-kasus tersebut, miliaran rupiah mengalir ke sejumlah pejabat tinggi dan anggota parlemen.
Tegasnya, kasus korupsi berjemaah dalam penyusunan dan perubahan APBN/APBD dapat “dipahami” sebagai upaya lembaga eksekutif untuk menghindari proses yang panjang atau mencegah kebuntuan (deadlock).
Kehadiran banyak pemegang veto menjadikan APBN/APBD sebagai kumpulan berbagai kepentingan atau keinginan dalam bentuk “pembagian jatah proyek”.
Pada titik yang paling ekstrem, ruang kolusi antara aktor eksekutif dan legislatif tercipta untuk menggerogoti keuangan negara sebagaimana nampak dalam kasus Wisma Atlet dan E-KTP.
Kasus-kasus yang saya teliti menunjukkan beberapa gejala yang sama.
Pertama, korupsi tidak pernah berdiri sendiri tetapi dilakukan melalui atau dengan menggunakan kerangka kelembagaan demokrasi yang ada.
Secara spesifik, lembaga eksekutif (melalui kementerian atau dinas) dan legislatif (melalui fraksi dan komisi) telah menjelma menjadi pusat korupsi.
Indonesia kini sedang menghadapi varian korupsi yang jauh lebih berbahaya: “korupsi demokratis”, yaitu korupsi yang lahir justru lewat proses dan institusi demokratis.
Kedua, korupsi lahir sebagai bentuk transaksi untuk mengatasi tuntutan untuk mengambil kebijakan secara cepat serta berhadapan dengan kepentingan yang berbeda.
Kekuasaan veto yang dimiliki oleh parlemen telah diubah menjadi instrumen efektif untuk memojokkan dan memaksa eksekutif untuk bertransaksi.
Dalam sistem politik yang ditandai oleh biaya politik mahal, maka transaksi menjadi rumus utama agar sebuah sistem politik bisa bekerja; persis pada titik itulah korupsi terjadi.
Apa yang Harus Dilakukan?
Salah satu agenda pemberantasan korupsi pada level makro adalah mengembalikan keseimbangan yang ideal antara konsentrasi dan fragmentasi kekuasaan.
Upaya ini bisa dilakukan dengan memperjelas hak veto masing-masing lembaga, yaitu memperjelas apa yang dimaksud sebagai “persetujuan bersama” dalam UUD 1945.
Perlu diperjelas apakah “persetujuan bersama” berarti hak veto dibagi sama rata (50/50) antara eksekutif dan legislatif – dalam kasus ini berarti presiden hanya perlu mendapatkan satu suara parlemen untuk meloloskan UU.
Selama ini, sebuah UU hanya bisa disahkan jika disetujui oleh presiden, ditambah mayoritas suara parlemen.
Atau upaya lain lewat penyederhanaan susunan politik parlemen ke sistem multi-partai efektif, misalnya membatasi hanya 3-5 partai di parlemen.
Jika hal-hal itu tidak bisa dilakukan dalam jangka pendek, maka pilihannya jatuh pada kontrol publik melalui berbagai media.
Bila perlu, kontrol publik ditetapkan secara formal, sebagai bagian integral dari mekanisme demokrasi. Sebuah UU misalnya hanya bisa disahkan jika sudah lolos uji publik.
Selama ini, masyarakat hanya berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam suatu penyusunan UU secara lisan dan tertulis melalui rapat dengar pendapat umum; kunjungan kerja; sosialisasi; dan seminar, lokakarya, atau diskusi.
Kehadiran kontrol publik akan memberikan tekanan agar para pemegang veto lebih bertanggung jawab dalam membuat berbagai kebijakan. [Gabriel Lele, Dosen di Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada]. Tulisan ini disalin RED dari theconversation.com.