Rakyat Butuh Hak-Hak Demokratis

Ilustrasi [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Kurang dari setahun, negeri ini akan menyelenggarakan apa yang disebut sebagai pemilihan umum nasional secara serentak. Pemilu demikian, merupakan kali pertama diselenggarakan di Indonesia. Serentak untuk memilih anggota legislatif, anggota perwakilan daerah dan presiden untuk periode 2019 hingga 2024.

Sebagian menyebut perhelatan 5 tahunan itu sebagai “pesta demokrasi”. Penamaan itu barangkali karena biayanya yang cukup fantastis. Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyebutkan, untuk menyelenggarakan pemilu – termasuk pemilihan kepala daerah serentak – sepanjang 2014 hingga 2019 menghabiskan uang negara hingga Rp 68,15 triliun. Kendati “pesta demokrasi” itu menelan biaya fantastis, tak lalu pemilu itu bermanfaat bagi rakyat.

Jika di Indonesia pemilu serentak baru akan digelar, Filipina sudah terlebih dahulu melaksanakannya pada 2016. Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) karena itu mengimbau agar pemerintah dan penyelenggara pemilu penting untuk memelajarinya. Selain belajar efisiensi biaya, juga perlu memelajari penyelenggaraan pemilu serentak yang baik dan benar. Karena salah memelajari, maka hanya akan menghasilkan penyelenggaraan pemilu yang bertambah kompleks.

Seperti di Indonesia, biaya pemilu di Filipina juga tinggi. Kendati tidak ada publikasi secara jujur untuk itu, menurut pakar komunikasi massa Filipina Luis V. Teodoro, mengutip data Philippine Center for Investigative Journalism pada 2010, uang yang dihamburkan calon legislatif dan partai politik mencapai miliaran peso. Sedangkan di Indonesia, merujuk kepada Komunikasi Politik dan Interpretasi para Anggota DPR kepada Konstituen Mereka disertasi doktoral Sekretaris Kabinet Pramono Anung menyebutkan, caleg minimal mengeluarkan Rp 2 miliar agar bisa duduk sebagai anggota Dewan.

Diungkapkan Pramono, motif orang menjadi anggota Dewan ada 2 yaitu motivasi utama dan turunan. Motivasi utama itu terkait dengan kepentingan ekonomi. Lembaga DPR dijadikan tempat untuk mencari nafkah sehingga sebagian dari mereka berkreasi atau mencari celah untuk korupsi untuk mengembalikan modal awal mereka menjadi anggota DPR.

Di samping itu, menurut Teodoro, juga perlu melihat bagaimana proses dan praktik politik secara efektif menjaga sistem politik hanya untuk segelintir orang. Pendapat serupa pernah disampaikan Direktur Pengembangan Kesetaraan dan Studi Globalisasi Northwestern University, Amerika Serikat, Jeffrey Winters dalam kuliah umumnya Oligarchy and the Jokowi Administration di Universitas Negeri Jakarta (UNJ) pada 2015. Ia menuturkan dinamika politik pemerintah Indonesia hingga kini masih dikuasai para oligarki (elite) dengan kepentingan kekuasaan.

Dengan kata lain, sistem politik demikian secara efektif memonopoli dan melanggengkan politik dinasti dengan mengesampingkan mereka yang miskin, tidak berdaya dan dipinggirkan. Dari fakta ini, maka pertama-tama kita perlu menanyakan: apa sesungguhnya pemilu dan apa yang pokok dari pemilu 5 tahunan ini?

Dikutip dari presidenri.go.id, pemilu merupakan sarana penunjang dalam mewujudkan sistem ketatanegaraan secara demokratis. Pemilu pada hakikatnya merupakan proses ketika rakyat sebagai pemegang kedaulatan memberikan mandat kepada para calon pemimpin untuk menjadi pemimpinnya.

Dalam sistem pemerintahan yang demokratis, seorang pemimpin akan langsung dipilih oleh rakyatnya, sehingga rakyat memiliki kebebasan untuk memilih siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Seperti halnya yang terjadi di Indonesia, pemilu merupakan ajang “pesta demokrasi” rakyat untuk menentukan pilihan politiknya.

Demokrasi
Lenin dalam karyanya berjudul Democracy and Dictatorship juga menyinggung demokrasi yang dimaknai hanya sebagai pemilu. Kaum pengkhianat, demikian Lenin, menganggap pemilu sebagai “demokrasi murni”. Istilah tersebut dimaksudkan hanya untuk menipu rakyat dan menyembunyikan karakter demokrasi borjuis di masa kini.

Dengan demikian, kata Lenin, kaum pemilik modal atau borjuis akan terus menguasai segala perangkat kekuasaan negara. Segelintir orang dibiarkan terus mengisap dengan menggunakan mesin negara kaum borjuis itu. Pemilu yang diadakan dalam keadaan demikian akan mendapat pujian dari kaum borjuis. Mereka beralasan pemilu itu berjalan dengan “demokratis”, “bebas”, “adil” dan “universal”.

Dari fakta-fakta itu, menurut Lenin, kalimat atau kata-kata demokrasi memang dirancang untuk menyembunyikan kebenaran. Menyembunyikan fakta bahwa ekonomi dan kekuatan politik tetap berada dalam genggaman segelintir orang yang disebut oligarki itu. Justru demokrasi demikian hanya mengeksploitasi rakyat dan sangat menguntungkan kaum oligarki itu.

Karakter demokrasi demikian oleh kaum oligarki dijajakan sebagai demokrasi modern dan “demokrasi murni”. Padahal dalam praktiknya demokrasi demikian sama sekali tidak berkaitan dengan rakyat terutama mereka yang miskin, tidak berdaya dan dipinggirkan.

Sedangkan, menurut Profesor Jose Maria Sison, seorang intelektual Filipina, dibanding hak memilih, di bawah “demokrasi” versi oligarki ini yang utama bagi rakyat adalah kemerdekaan menyampaikan pendapat baik secara lisan dan tertulis, berdemonstrasi, berorganisasi (berserikat), menjalankan organisasi dan partai politik tanpa tekanan, menerbitkan serta menyalurkan media massa seperti koran, bahan bacaan dan lain-lain tanpa pembatasan.

Merujuk kepada itu, kemerdekaan menyampaikan pendapat dan kebebasan berekspresi pada masa pemerintahan Joko Widodo – Jusuf Kalla justru mengalami pengekangan. Umumnya mereka yang diduga menyampaikan ujaran kebencian dijerat Undang Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Data Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) menyebutkan, sejak Jokowi-Kalla dilantik pada 2014, laporan pidana lewat UU ITE hingga Oktober 2017 mencapai sekitar 150 laporan. Dengan kata lain, ada sekitar minimal 2 laporan atau maksimal 15 laporan per bulan.

Lalu, indeks demokrasi Indonesia juga cenderung menurun dari 2015 hingga 2017. Untuk 2015 indeks demokrasi Indonesia berada di level 73,04, 2016 menjadi 72,82 dan 2017 menjadi 70,09. Indikator penurunan berbasis kalkulasi kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi. Data Safenet juga menyebutkan, walau postingan aktivis di media sosial berbasis data dan fakta, mereka tetap dikenai UU ITE. Tujuannya adalah untuk membungkam fakta dan data.

Menanggapi data ini, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto mengatakan, tingkat demokrasi di Indonesia secara umum masih dalam kategori sedang dan naik-turun indeks demokrasi itu dalam beberapa tahun karena ada aktivitas politik dalam wujud pilkada dan pemilihan presiden.

Akan tetapi, indeks demokrasi tidak bisa dijadikan satu-satunya patokan tunggal terkait dengan membaiknya demokrasi di Indonesia. Kepala Pusat Kajian Politik Universitas Indonesia Aditya Perdana, misalnya, mengatakan, penyelenggaraan negara tidak hanya terbatas pada indeks korupsi, hukum dan demokrasi yang pada dasarnya hanya angka semata. Dari satu sisi itu tentu baik, tapi kalau didalami lagi masih banyak masalah yang tidak mencerminkan kebenaran sesungguhnya.

“Indeks demokrasi itu angka statistik yang menunjukkan kebebasan berpendapat, kebebasan berserikat, partisipasti politik dan sebagainya,” tutur Aditya seperti dikutip BBC Indonesia pada Oktober tahun lalu.

Berkaitan dengan hak asasi manusia, Amnesti International menyebutkan, penegakan HAM pada masa Presiden Jokowi mengalami kemunduran. Itu tampak pada meningkatnya pengekangan berekspresi, pembatasan kebebasan beragama, penggunaan kekuatan berlebihan, pembunuhan tanpa proses hukum oleh aparat dan kembalinya penggunaan hukuman mati.

UU Ormas
Di samping itu, kasus yang sempat menjadi sorotan utama pada pertengahan tahun lalu adalah munculnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) yang kemudian dikenal sebagai UU Ormas. Lewat UU ini, menurut organisasi pemerhati HAM, Elsam, alih-alih menegakkan hukum, UU ini justru melegitimasi pembubaran sejumlah organisasi.

UU ini memberi kewenangan kepada pemerintah untuk membubarkan suatu organisasi tampa melalui proses peradilan. Elsam karena itu mencatatnya sebagai sebauha kemunduran dalam perjalanan dua dekade setelah jatuhnya rezim militer Soeharto. Rezim HAM dan demokrasi menghendaki adanya campur tangan peradilan sebagai manifestasi dari sistem cheks and balances dalam setiap tindakan pembubaran suatu organisasi, sekaligus memastikan adanya jaminan perlindungan terhadap hak atas kebebasan berserikat dan berorganisasi.

UU ini juga memiliki kekuatan untuk memberi sanksi administratif berupa pencabutan status badan hukum atau pembubaran dan sanksi pidana penjara terhadap anggota/dan atau pengurus Ormas yang menganut, mengembangkan, dan menyebarkan paham yang bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Sanksi pidana penjara juga berlaku terhadap Ormas yang bersimpati dan memberikan dukungan atas perjuangan hak-hak suku bangsa untuk menentukan nasib sendiri.

Sementara Lembaga Studi untuk Kajian Nasional dan Demokrasi (Indies) menyebutkan, dampak atau akibat paling pokok berlakunya UU Ormas ini adalah kecenderungan pemerintah untuk semakin sewenang-wenang dalam menggunakan kekuasaannya. Itu berarti, pemerintah semakin mudah tergelincir dalam melakukan penyelewengan kekuasaan karena dapat menetapkan secara subjektif Ormas yang dinilai layak untuk dibubarkan sekaligus kemudian membubarkan Ormas itu tanpa ada peluang bagi Ormas untuk mempertahankan diri dan memberi jawaban di pengadilan.

Dikatakan Direktur Eksekutif Indies Kurniawan Sabar, kritik mendasar atas pembangunan justru bisa menuai malapetaka bagi rakyat karena UU Ormas. Juga untuk organisasinya. Karena kritik dan organisasi tersebut bisa saja dituding sebagai anti-Pancasila atau anti-pemerintah. Dengan demikian, kondisi itu tidak saja mempersempit partisipasi demokrasi rakyat dalam pembangunan, tapi juga secara langsung mengancam kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat yang telah dijamin konstitusi.

“Ketika promosi semacam SDGs begitu ramai, rakyat dan organisasinya justru dipaksa diam karena ancaman pembubaran organisasi serta sanksi pidana yang dapat diputuskan sepihak oleh pemerintah,” tulis Kurniawan dalam kajian Indies yang berjudul Kembalinya Zaman Kegelapan: Dampak Penerapan UU Ormas Dalam Implementasi SDGs dan Kebebasan Berserikat di Indonesia.

Keadaan demikian – terlebih situasi di bawah demokrasi yang dikendalikan pemilik modal – menurut Profesor Jose Maria Sison lewat Basis Of A Fascist State, sebagai reaksi atas kesadaran rakyat. Penguasa merasa memerlukan cara baru untuk menjaga kestabilan sistem “demokrasi” yang mereka bangun selama ini. Seperti Sison, Jeffrey Winters berpendapat itu sebagai cara oligarki mempertahankan kekayaan.

Pemeliharaan kekuasaan dilakukan dengan berbagai cara, termasuk melibatkan oligarki yang acap menggunakaan cara paksaan untuk mengklaim hak milik dan kekuasaan kolektif terhadap cabang-cabang produksi negara. Sementara, John Perkins lewat Confessions of an Economic Hitman menamainya sebagai korporatokrasi. Sistem pemerintahan yang dikendalikan, dikuasai atau dijalankan beberapa korporat.

Mereka – para korporat itu – umumnya para pengusaha kaya raya atau konglomerat yang memiliki dana lebih dari cukup untuk mengendalikan kebijakan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain sebagainya dalam suatu negara. Para korporat ini juga umumnya membiayai para politikus, pejabat militer dan kepala-kepala instansi suatu negara. Kebijakan yang muncul dari sistem seperti ini hanya akan menguntungkan para konglomerat dan menindas golongan masyarakat yang lemah.

Yang perlu diingat adalah “demokrasi” demikian tidaklah berlangsung selamanya. Kaum pemilik modal akan selalu merasa “terancam” ketika kesadaran rakyat terus meningkat. Itu sebabnya, mereka akan berusaha mengendalikan atau menekan dengan menyebut “pembangunan sedang dalam bahaya”. Dari sini kita menjadi mengerti hal pokok yang dibutuhkan rakyat menjelang pemilu serentak pada 2019 adalah hak-hak demokratis terutama kebebasan berpendapat, kebebasan pers, hak berkumpul, hak berorganisasi dan lain sebagainya. Ini lebih penting dibanding hanya hak untuk memilih. [Kristian Ginting]