Ilustrasi/shutterstock

Koran Sulindo – Hari-hari ini hingga April tahun depan, ruang publik negeri ini akan ramai dengan berbagai modus dan format kampanye politik. Mata para pemilih, mau tak mau, suka tak suka, akan dijejali berbagai alat peraga dari politisi atau calon politisi.

Saya jadi teringat pembicaraan dengan seorang wartawan senior cum kolumnis terkenal, pada suatu sore beberapa tahun lalu. Dalam pembicaraan itu, saya melontarkan sebuah pertanyaan ringan sekaligus serius.

Apa saya yang salah dengan politik Indonesia? Mengapa setelah reformasi berjalan 20 tahun– dan di sepanjang masa reformasi itu negeri ini telah mempunyai lima presiden dari berbagai latar belakang (dari ahli rancangan pesawat, ulama cum cendekiawan, trah politik hebat, tentara yang lihai pencitraan diri, dan terakhir pengusaha mebel cum kepala daerah sukses)—politik Indonesia seperti masih jalan ditempat?

Mendengar pertanyaan itu, sang wartawan senior tercenung sejenak. Sepertinya, ia mencari jawaban yang pas untuk pertanyaan saya.

Selintas kemudian ia menjawab, dengan nada penuh  keraguan, seakan kurang yakin akan jawabannya sendiri: “Mungkin, karena negeri ini tidak punya politisi yang baik sekaligus andal”.

Tentu saja, saya tak puas dengan jawaban menggantung itu. Lantas kami terlibat diskusi lumayan serius, sedikit melebar kesana-kemari. Tapi, diskusi singkat itu (tak sampai satu jam) “menemukan” beberapa hal menarik tentang kondisi terkini kaum politisi Indonesia, terutama yang berkiprah di partai politik.

Secara gampang, para politisi partai itu jenisnya bisa dipilah dalam rentang dua kutub ekstrim: “ideologis” dan “oportunis” (catatan: dibuat dalam tanda petik, karena tidak ada seorangpun yang memenuhi secara utuh kedua jenis tersebut).

Rinciannya, juga secara gampangan, sebagai berikut.

Ada beberapa politisi yang pemahaman ideologisnya lumayan baik, tapi tak punya kemampuan mengorganisir yang bagus. Jenis politisi ini biasanya– karena merasa frustasi atapun memang sudah karakternya–, berperilaku soliter dalam keriuhan pentas politik partai maupun parlemen.

Yang jumlahnya lebih sedikit lagi adalah jenis politisi yang paham ideologi (bisa bermacam-macam, sesuai partai dimana mereka berdiam) sekaligus punya keahlian mengorganisir yang mumpuni. Celakanya, jenis politisi seperti ini justru jarang sekali mendapat posisi strategis di struktur partai ataupun di parlemen, bahkan kerap kali jadi “orang buangan”. Mungkin, karena mereka dianggap tidak  cucok  dengan sistem dan budaya partai. Mereka hanya dipakai jika sewaktu-waktu dibutuhkan. Dan setelah beberapa lama kemudian, biasanya eksistensi jenis politisi seperti ini hilang ditelan masa, nyaris tak berjejak.

Sebaliknya, cukup banyak politisi oportunis tapi punya kemampuan mengorganisir yang bagus (bisa karena wibawa personal, ataupun modal finansial yang besar).  Jenis politisi seperti inilah sejatinya yang menguasai panggung politik di partai maupun parlemen, di tingkat nasional hingga ke tingkat lokal (provinsi dan kabupaten/kota). Ada yang muncul di permukaan, tapi lebih banyak yang bermain di belakang layar. Penting dicatat, justru politisi jenis inilah yang membangun karir dan reputasinya dari bawah, melewati pertarungan politik yang keras. Proses itu membuat mereka lihai bermain di setiap peristiwa ataupun momentum politik penting.

Jenis yang terakhir adalah politisi opurtunis yang ikut arah angin kemana pun berhembus. Jenis politisi inilah yang paling banyak jumlahnya memenuhi partai maupun parlemen. Mereka ini bisa dikatakan “mendadak jadi politisi”, dengan beragam latarbelakang, antara lain: aktivis mahasiswa kelas medioker, pengusaha atau anak pengusaha, anak penguasa daerah, pengacara, dan sebagainya. Motivasi mereka menjadi politisi juga bermacam-macam, tapi secara umum berujung “menaikkan kelas sosial, melalui peningkatan pendapatan”.

Lantas, dengan sumberdaya seperti itu, bagaimana nasib politik Indonesia di masa depan?

Ketika pertanyaan itu saya ajukan diakhir pembicaraan, sang wartawan senior itu hanya menggumam tak jelas sambil menggelengkan kepala. Sorot matanya memancarkan pesimisme. Jawaban itu sebangun dengan yang menggayut di pikiran saya. [Imran Hasibuan]