SEJAK KADER hippies merobek pagar di Isle of Wight pada Festival 1970, penggemar rock bergerak ke pendulum anarkis dan menuntut “musik menjadi lebih bebas”. Idenya, musik dan industri secara politis bakal membahayakan estetika dan arah politiknya: kebebasan.
Ketika Radiohead merilis sendiri album In Rainbows pada tahun 2007 secara digital, ambisi revolusioner itu diserahkan kepada publik. Ironisnya, inisiasi itu bukan dipicu hippies atau label indie, namun oleh salah satu band terbesar di dunia di bawah label EMI.
Radiohead juga jauh dari kebebasan estetika dan politik yang dikompromikan itu. Mereka benar-benar bertualang dengan setiap albumnya, sekaligus menjadi salah satu tindakan industri yang paling banyak terlibat secara politis.
Sementara itu, mengunduh lagu digital secara gratis dalam satu dekade terakhir telah menghancurkan penjualan ritel cara lama. Cara ini mengejutkan, karena Napster (situs web yang menggagas akses musik secara cuma-cuma melalui file sharing) yang baru hadir pada tahun 1999 telah memiliki basis pengguna lebih dari 26 juta penggemar di seluruh dunia. Napster menjarah musik apa pun yang bisa mereka temukan.
Industri mainstream yang mengandalkan penjualan “perangkat” keras segera terbengkalai oleh ledakan file sharing. Alih-alih mencari celah mengakomodasi perkembangan baru, mereka justru bereaksi dengan mengkriminalisasi Napster seperti yang dilakukan kelompok musik Metallica dan Dr Dre.
Asosiasi Industri Rekaman Amerika atau RIAA segera mengerek bendera perang melawan individu-individu dan yang terlibat “penidasan” para korban, termasuk seorang gadis berusia 12 tahun, seorang wanita berusia 66 tahun, dan lebih dari 20.000 kasus serupa.
Masalahnya, tak semua orang percaya Napster benar-benar merusak pasar label. Dalam beberapa kasus, mereka justru merasa file sharing merangsang penjualan. Ini langsung dibuktikan Radiohead ketika tahun 2000 memasang Kid A di Napster sejak tiga bulan sebelum peluncuran.
Sebagai album eksperimental, Kid A bukan album yang mencolok. Album ini memiliki perbedaan secara signifikan dengan gaya OK Computer.
Dari segi pemasaran, album tersebut menjadi karya yang menantang. Hasilnya: meski diunduh gratis, jutaan kali album Kid A meraih sukses komersial. Napster tidak merusak prospek penjualan Kids A, tapi justru menggelontorkan promosi yang tak ternilai harganya.
Radiohead membuka mata-industri musik, yang segera sadar bahwa perang besar menghilang dan mereka harus mengembangkan hubungan baik dengan layanan download “legal” seperti iTunes milik Apple.
Merilis album debut mereka pada tahun 1993, Pablo Honey, singel pertama Radiohead (“Creep”) menjadi penyangkalan diri yang ironis, mencerminkan kekaguman mereka terhadap Pixies. Namun, lagu itu menuai kegagalan komersial di Inggris. Radio-radio menganggap “Creep” terlalu menyedihkan untuk dimainkan.
Berbanding terbalik dengan Inggris, pendengar Amerika justru terpukau oleh paduan suara dinamis dan katarsis “Creep” yang membara. Mirip estetika grunge yang memang punya penggemar tetap.
Album kedua, The Bends (1995), justru menampilkan jenis artistik yang membuat bos label menggigil. Album ini menunjukkan kemampuan Radiohead menyuntikkan konten emosional yang kuat ke dalam struktur musik yang kompleks. Lima lagu itu masuk dalam daftar Top 30 Hits.
Toh, penghargaan terbesar tetap diberikan ke OK Computer. Album ini dianggap sebagai karya Radiohead yang paling kompleks.
Tanggapan positif juga dituai film dokumenter Meet People Is Easy (1998), yang mengungkapkan kebencian Radiohead ke bisnis musik yang melelahkan. Pada tahun-tahun itu, mereka hanya mau tampil untuk konser amal, seperti yang diselenggarakan Amnesty International dan Gerakan Kebebasan Tibet. Ini menunjukkan meningkatnya pandangan politik Yorke. [Teguh Usia]
Atikel ini pernah dimuat pada 15 Desember 2017