Pelukis Raden Saleh Syarif Bustaman dipotret saat berada di Jawa (Koleksi KITLV, No. 4117)
Pelukis Raden Saleh Syarif Bustaman dipotret saat berada di Jawa (Koleksi KITLV, No. 4117)

“Raden Saleh memanfaatkan pesanan benda-benda seni dan budaya yang meningkat berkat didirikannya Museum Etnografi di Eropa,” kata Raden Arjo Sastro Darmo yang dimuat dalam buku Raden Saleh, Kehidupan dan Karyanya.

Disampaikan oleh Raden Arjo, sosok Raden Saleh turut serta melacak, menemukan, serta memborong barang antik naskah Jawa. Kebanyakan dari barang tersebut ia hadiahkan kepada Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen.

Kisah Seorang Raden Saleh

Raden Saleh Syarif Bustaman (1811-1880) selain sebagai pelukis besar, juga dikenal sebagai kolektor barang-barang antik yang berkaitan dengan seni dan budaya. 

Pada tahun 1829, Raden Saleh berkesempatan pergi ke Belanda untuk mewujudkan mimpinya hidup di tengah peradaban Eropa. Banyak orang dan pejabat tinggi di Eropa mengaguminya karena bisa hidup dalam campuran budaya Muslim Jawa dan Eropa.

Disamping itu ia pun sibuk memenuhi undangan banyak pejabat di Eropa yang penasaran dengan kemampuanya melukis. Selain sebagai pelukis, Raden Saleh juga terkenal sebagai kolektor dokumen etnografi, arsitek lanskap, pendiri beberapa taman alam, dan perancang busana.

Kemampuannya memperluas pergaulan, membuat Freemason secara tidak langsung mulai memperhatikan Raden Saleh. Yang pada akhirnya melantik Raden Saleh menjadi seorang anggota Tarekat Kemasonan pada tahun 1836.

“Pada 1836 Raden Saleh dilantik menjadi anggota Tarekat Kemasonan di Loji Eendracht Maakt Macht yang berada di Den Haag, Belanda,” tulis Theo Steven dalam buku The Freemason and Society in the Dutch East Indies 1764-1962.

Koleksi Antik Raden Saleh

Di kediaman Raden Saleh di wilayah Cikini, Batavia (Jakarta) tahun 1866, banyak terkumpul beragam benda seni, yakni mulai pusaka hingga kitab-kitab bahasa Jawa kawi peninggalan nusantara masa lampau.

Namun tidak semua barang kuno tersebut dipakai untuk memuaskan kepentingan pribadinya. Raden Arjo Sastro Darmo dalam buku Cariyos Nagari Betawi mengatakan, banyak barang-barang antik yang dikumpulkan itu untuk memenuhi pesanan museum di Eropa.

Koleksinya antara lain  arca-arca purbakala, arca Budha, naskah daun lontar (serat karopak) dan naskah yang ditulis di atas kertas. Juga ada perhiasan, yakni mulai gelang, kalung, benda-benda dari kayu, meliputi tongkat, tulang-tulang, mineral serta batu-batu berbentuk aneh.

Juga ada keris, pedang, sabit. Pendek kata, ada sejumlah senjata tajam seperti senjata penusuk dan senjata pembacok, seperti keris, tombak, parang, pedang pendek, arit, pisau potong dan lain sebagainya.

Asal Usul Barang Antik Raden Saleh

Raden Saleh memperoleh semua barang antik itu dari perjalanan ke Jawa Tengah pada tahun 1865. Barang-barang itu berasal dari para aristokrat di Yogyakarta dan Surakarta yang takjub dengan gaya belanda Raden Saleh.

Para bangsawan itu kemudian memberikan barang kuno kepada Raden Saleh sebagai hadiah cuma-cuma. Raden Saleh tidak mengeluarkan uang sepeserpun untuk koleksi barang antiknya tersebut. Ada pula yang berharap barang-barang antik itu terutama naskah-naskah kuno, selanjutnya diserahkan kepada pemerintah Hindia Belanda.

Raden Saleh pun  senang memberi hadiah barang antik kepada sahabat-sahabatnya di Eropa. Misalnya sebuah naskah kuno yang diperoleh dari Sultan Sumenep Pakunataningrat, dihadiahkan cuma-cuma kepada Ernest II dari Sachsen – Coburg and Gotha.

Naskah kuno itu berisi teks bahasa Jawa Kawi dan Jawa Kromo Inggil. Di permukaan amplop yang berukuran besar, Raden Saleh menuliskan judul berbahasa Jerman yang berarti: Etika Budha di Babanan, Sebuah Daerah di Jawa.

Kini naskah tersebut tersimpan dalam koleksi autograf Veste Coburg Art Collection. Dalam buku itu juga disebutkan beberapa barang antik dari Raden Saleh tersimpan di Museum Istana Gotha di Perpustakaan Negara bagian Gotha.

Kemudian juga tersimpan di Museum Etnologi di Wina dan beberapa di Jerman. Namun tampaknya Raden Saleh juga menghadiahkan sebagian koleksi barang antiknya kepada Museum Sejarah Jakarta.

Raden Saleh Menetap di Batavia

Raden Saleh bertolak ke Negeri Belanda di saat perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1829) tengah berkecamuk. Pada 20 Juli 1829, ia tiba di pelabuhan Antwerpen Belanda. Setelah 22 tahun keliling Eropa, Raden Saleh kembali pulang ke tanah air. Pada Oktober 1851 ia naik kapal uap Makassar untuk menuju pulau Jawa.

Sebelum pulang ke tanah air, pada 17 Maret 1851 Raden Saleh sempat dianugerahi gelar Schilder des Konings (Pelukis Raja) di Den Haag. Pada tahun 1855 Raden Saleh mulai tinggal di Batavia. Awalnya di wilayah Molenvliet (sekarang Jalan Gajah Mada), dengan menempati sebuah rumah bermodel Eropa.

Kemudian pada 1857 ia pindah di sisi tenggara Sungai Ciliwung, tepatnya di Kampung Gunungsari (sekarang di antara Jalan Samanhudi dan Jalan Dr Sutomo). Lantas dua tahun berikutnya, yakni tahun 1859 Raden Saleh menempati rumah barunya di Cikini. Yang sekarang menjadi Rumah Sakit PGI Cikini. Bangunan bekas rumahnya kini menjadi cagar budaya, yang berada di bagian tengah kompleks rumah sakit, tepatnya di depan taman utama RS PGI Cikini di Jl Raden Saleh, Cikini, Menteng, Jakarta Pusat.

Menurut Werner Kraus, “Raden Saleh lebih banyak berusaha untuk menunjukan budaya Jawa kepada dunia, menjadi seorang kolektor sistematis pertama Indonesia.” dalam Raden Saleh, Kehidupan dan Karyanya. [S21]