Koran Sulindo – Asal-usul cerita rakyat ini tidak diketahui dengan pasti, namun kisah ini telah lama berkembang di daerah Wajo, Sulawesi Selatan. Dikatakan bahwa kisah ini menjadi latar belakang kepercayaan sebagian masyarakat Bugis untuk tidak memakan daging kerbau belang, yang dianggap memiliki jasa besar.
Kisah ini berkisah tentang seorang putri bernama Putri Tadampalik dari Luwu, Sulawesi Selatan. Putri Tadampalik adalah anak dari Datu Luwu, La Busatana Datu Maongge, yang memerintah dengan bijaksana, membawa kesejahteraan, keamanan, dan ketentraman bagi rakyatnya. Kecantikan Putri Tadampalik sangat terkenal, bahkan terdengar hingga ke Bone.
Raja Bone, yang mendengar kabar kecantikan sang putri, berkeinginan menjodohkan putranya dengan Putri Tadampalik. Dia pun mengirim utusan untuk melamar sang putri kepada Datu Luwu.
Namun, lamaran tersebut membuat Datu Luwu bimbang, karena adat mereka melarang gadis Luwu menikah dengan orang dari luar kampung. Di sisi lain, ia khawatir menolak lamaran tersebut dapat memicu konflik. Akhirnya, ia memutuskan untuk menerima lamaran tersebut.
Namun, tak disangka, Putri Tadampalik tiba-tiba menderita penyakit kulit aneh yang membuat tubuhnya mengeluarkan cairan kental dan berbau tidak sedap. Semua tabib istana gagal menyembuhkannya dan menyatakan penyakitnya menular.
Demi keselamatan rakyat, Datu Luwu memutuskan untuk mengasingkan sang putri. Meski sedih, Putri Tadampalik tetap patuh pada keputusan ayahnya. Dia berangkat bersama pengawal, membawa keris yang diberikan ayahnya sebagai tanda bahwa ia tetap dihargai.
Setelah berbulan-bulan berlayar tanpa tujuan, mereka tiba di sebuah daratan. Salah satu pengawalnya menemukan buah wajo, sehingga sang putri memutuskan untuk menamai tempat itu sebagai Wajo. Karena tempatnya subur dan nyaman, mereka menetap di sana dan mulai membangun kehidupan baru.
Beberapa waktu kemudian, saat sedang duduk di tepi danau, Putri Tadampalik didatangi seekor kerbau buleng (putih) yang menjilati kulitnya. Awalnya, sang putri ingin mengusirnya, namun karena kerbau itu jinak, ia membiarkannya.
Tanpa diduga, bekas jilatan kerbau itu menyembuhkan kulitnya hingga bersih kembali. Putri Tadampalik sangat bersyukur kepada Dewata (Tuhan Yang Maha Esa). Sebagai tanda terima kasih, ia memerintahkan seluruh pengawal untuk tidak pernah menyembelih atau memakan kerbau buleng. Larangan ini masih diikuti oleh masyarakat Wajo hingga kini.
Suatu hari, putra mahkota Bone bersama panglimanya, Anre Guru Pakkannyareng, pergi berburu hingga tersesat dan terpisah dari rombongan. Malamnya, ia melihat cahaya di kejauhan dan mendekati sumbernya.
Ia terkejut mendapati seorang putri jelita, dan keduanya pun berkenalan dan saling akrab. Sekembalinya ke Bone, putra mahkota menjadi termenung, hatinya terus tertuju pada Putri Tadampalik. Anre Guru Pakkannyareng pun mengusulkan kepada Raja Bone agar melamarkan sang putri.
Utusan Bone tiba di Wajo untuk melamar Putri Tadampalik. Sang putri menyerahkan keris dari ayahnya sebagai tanda. Ia meminta mereka menunjukkan keris itu kepada Datu Luwu; jika diterima, berarti lamarannya juga diterima.
Putra Mahkota Bone pun pergi menemui Datu Luwu, menceritakan kejadian yang dialaminya, dan menyampaikan keinginannya memperistri Putri Tadampalik. Datu Luwu dan permaisuri segera menjemput sang putri dan menikahkannya dengan putra mahkota Bone. Pernikahan dilangsungkan di Wajo, dan beberapa tahun kemudian, putra mahkota diangkat menjadi raja. [UN]
Sumber: Pencatatan Warisan Budaya Tak Benda BPNB Sulsel