Putra Mahkota, Islam Garis Keras, dan Ketidakadilan

Koran Suluh Indonesia Volume II Nomor 23, 13-26 November 2017

Koran Sulindo – Angin segar berembus dari gurun, dari Kerajaan Arab Saudi. Yang meniupkan adalah putra mahkota kerajaan itu, yang sekaligus Wakil Perdana Menteri, Menteri Pertahanan, dan ketua lembaga pemberantasan korupsinya, Muhammad bin Salman bin Abdulaziz al-Saud. Dalam sebuah konferensi di Riyadh, ibu kota kerajaan itu, Oktober 2017 lalu, ia mengatakan akan menjadikan Kerajaan Arab Saudi sebagai negara Islam moderat. “Kita akan kembali kepada apa yang menjadi diri kita sebelumnya, yakni sebuah negara Islam moderat, yang terbuka bagi umat lintas agama di seluruh dunia,” katanya.

Menurut dia, pemikiran Islam yang ekstrem bukan merupakan ciri bangsa Arab Saudi di masa lampau. “Kita tentu tidak ingin menyia-nyiakan hidup selama 30 tahun untuk berurusan dengan pemikiran-pemikiran ekstremis,” tuturnya.

Selama berabad-abad, Kerajaan Arab Saudi memang dianggap oleh sebagian kalangan sebagai “eksportir” pemahaman Islam yang berada di “garis keras”. Maksudnya, dengan bersendi pada pemahaman Islam menurut pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab dan penerusnya, mereka bersikap “anti-kompromi” terhadap apa pun yang mereka nilai melenceng dari tuntunan Nabi Muhammad S.A.W.—yang kemudian dikenal sebagai pemahaman wahabi-isme.

Sejauh ini, gerakan-gerakan Islam yang memilih jalan di garis keras dalam aktivitasnya di berbagai negara dianggap bersumber dari wahabi-isme. Jadi, pernyataan Muhammad bin Salman tersebut menumbuhkan harapan di banyak negara, gerakan “Islam garis keras” akan segera meredup, termasuk di Indonesia.

Namun, perlu disadari pula konteks yang melingkupi pernyataan itu. Pada tahun lalu, Arab Saudi mengalami defisit penerimaan sampai US$ 84 miliar, karena jatuhnya harga minyak dunia. Negara kerajaan tersebut membutuhkan suntikan dana, termasuk dari investor asing, agar tidak oleng. Pemahaman Islam yang berada di garis keras tentu saja akan membuat calon investor asing berpikir sangat panjang untuk menanamkan modalnya di sana.

Kalau dilihat dari konteks historisnya, pemahaman yang sudah dijalankan sejak berabad-abad lalu itu kemungkinannya sangat sulit ditinggalkan begitu saja. Apalagi, pemahaman itu tumbuh di lahan yang sesuai, “peradaban gurun pasir”, yang terbentuk dari karakter eksosistem alamnya yang sangat keras. Bahkan tanah Arab diketahui sebagai negeri yang paling panas dan kering di muka Bumi.

Selain itu, bahkan sampai sekarang, masih banyak ulama yang berpandangan sangat konservatif berada di lingkungan istana kerajaan. Mereka diperkirakan akan menjadi “penentang” pertama Muhammad bin Salman jika benar akan mengubah pemahaman masyarakatnya tentang ajaran Islam ke arah moderat.

Seandainya program Muhammad bin Salman itu pun berjalan mulus, tak serta-merta gerakan Islam garis keras meredup di berbagai negara, termasuk di Indonesia. Karena, sumber pemahaman seperti itu sekarang ini bisa datang dari mana saja seiring dengan kemajuan teknologi informatika.

Lagi pula, pemahaman ajaran tersebut sekarang ini bisa dilihat bukan sebagai penyebab utama munculnya gerakan-gerakan umat Islam yang cenderung ekstrem. Di Indonesia, gerakan ini muncul di kalangan umat Islam lebih karena upaya menuntut keadilan dan kesejahteraan. Terlebih, suka atau tidak suka, kenyataannya, sejak kemerdekaan diproklamasikan sampai sekarang, umat Islam masih sering dipojokkan dalam kehidupan bernegara. Belakangan ini malah kerap diberi stigma negatif: mulai dari umat yang intoleran, radikal, sampai anti-Pancasila dan NKRI.

“Sebenarnya mereka itu bukan tidak menerima Pancasila atau ingin radikal dan tidak toleran, melainkan sesungguhnya mencari keadilan dan melakukan protes atas ketidakberesan agar jalannya negara dan pemerintahan sesuai dengan Pancasila,” kata pakar hukum tata negara yang mantan Ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud M.D., pada 5 Mei 2017 lalu di Yogyakarta. [PUR]