Koran Sulindo – Kesialan selalu menimpa Put On. Lihat saja tatkala disuruh ibunya bersih-bersih rumah. Di tengah-tengah dirinya mengepel lantai, ia punya pikiran untuk jalan-jalan hanya untuk menghindar dari tugas rumah. Kepada ibunya Put On pamit mau mengantar orang yang mau beli rumah. Ternyata, Put On nglencer ke rumah cewek yang ditaksir, Mientje. Sesampai di rumah Mientje, ternyata seisi rumah sedang bersih-bersih rumah. Alhasil Put On pun kebagian ikut bersih-bersih rumah. “Wah, dasar peruntungan mesti ngepel hari ini… Dan di dua rumah,” gerutu Put On.
Kesialan lain juga dialami Put On saat memenangi undian (lotere). Bersama temannya, Put On berencana mau buka usaha jual-beli mobil yang dimulai dengan jual-beli sepeda. Untuk itulah ia akan merayakan dengan makan-makan terlebih dulu. Apa mau dikata, isteri temannya mendengar obrolan tadi, dan mengira suaminya punya uang. Dengan serta merta uang menang hasil undian pun dirampas untuk beli beras. Wallhasil, Put On melongo, tak bisa berbuat apa-apa. Keinginan membuka usaha pupus sudah.
Dua cerita di atas tersebut adalah kisah Si Put On dalam komik strip yang diterbitkan oleh Majalah Mingguan Sin Po di Jakarta pada tahun 1931. Serial komik strip Si Put On ini selalu muncul setiap hari Kamis hingga majalah Sin Po ditutup pada masa penjajahan Jepang. Namun komik Put On kembali muncul di majalah Pancawarna pada 1947, sebagai penerus majalah Sin Po.
Serial komik strip Put On ini, kini, tengah dipamerkan di Bentara Budaya Yogya (BBY) dengan tema ‘Put On Reborn’. Pameran yang berlangsung sejak 2 Februari dan berakhir pada 9 Februari ini menampilkan 37 seri.
Mengamati serial komik strip Put On, agaknya si pengarang ingin menghadirkan sebuah komedi yang segar, yang ingin menggambarkan kehidupan saat masa penjajahan yang masih serba susah, namun tak ingin menyinggung orang lain. Cukup dengan mengolok-olok dirinya dengan menunjukkan ketololan atau kesialan si tokoh, yakni Put On.
Hermanu, kurator BBY, menilai komik strip Put On ini menampilkan goresan dalam gambar yang sangat khas, yakni menggambarkan karakter bergerak dengan dinamika yang luwes. “Sense humor dan kosa kata yang sedikit sulit dipahami itulah yang justru menjadi salah satu kelebihan pengarangnya,” tutur Hermanu.
Sementara itu budayawan Sindhunata dalam tulisannya di katalog menegaskan bahwa Put On ini adalah Cina peranakan dari Betawi yang tak kaya serta mencintai tanah kelahirannya. Sindhu menulis : “Namaku Koh Put On, Cina peranakan dari Betawi.Orang terima kalau aku dibilang anak Cina. Tapi kenapa mereka tak mau terima kalau aku bilang aku anak Betawi. Apa artinya Cina jika sehari-hari hidupku lewat seperti orang Betawi, yang biasa dan sederhana. Orang disebut Cina karena kaya, sedang aku tak pernah tahu rasanya kaya, kenapa lalu mereka tak mau menyebut aku anak Betawi saja. Andaikan hidup tak diukur dengan darah dan harta, mungkin dari dulu orang takkan pusing, apakah aku Cina, karena seperti mereka, aku juga dilahirkan di tanah Betawi tercinta.”
Yang tak kalah menariknya, sejak kemunculan komik strip Put On pada 17 Januari 1931 hingga 1956, tak pernah terungkap di publik siapa illustratornya. Sang illustrator baru terkuak setelah Hao P’eng Yu mengulas dalam majalah Pantjawarna – dalam rangka memperingati 10 tahun majalah Pantjawarna. Dalam ulasannya itu Hao P’eng Yu menuturkan sifat pemalu namun punya sense humor inilah yang menyebabkan Kho Wan Gie tak menampilkan nama dalam karya-karnya yang berjudul Put On tersebut. Yang menarik juga, judul Put On ini dicetuskan oleh Ang Jan Goan. Put On sendiri ternyata pula diambil dari bahasa Inggris, bukan bahasa Cina.
Menikmati serial komik strip Put On yang dipamerkan di BBY membuat kita tersenyum. Boleh jadi pula, apakah kisah itu juga kisah yang memang dialami Kho Wan Gie sendiri? Entahlah.[YUK]