Kavaleri Belanda di Sanur, Bali tahun 1906 (Bali Chronicles (2004)
Kavaleri Belanda di Sanur, Bali tahun 1906 (Bali Chronicles (2004)

Koran Sulindo – Puputan Margarana adalah pertempuran besar antara pasukan Indonesia dan Belanda yang berlangsung di desa Marga, Bali, pada 20 November 1946. Pertempuran ini mencerminkan semangat dan keberanian bangsa Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan.

Dilansir dari laman kemdikbud, Kolonel Infanteri I Gusti Ngurah Rai, pemimpin pasukan Indonesia yang berjumlah kurang dari 100 orang, memimpin perlawanan sengit melawan tentara Belanda yang disertai pasukan sekutu yang bertugas melucuti senjata Jepang pasca Perang Dunia II.

Situasi di Bali menjadi genting sejak 2 Maret 1946 ketika tentara NICA (Nederlands-Indische Civiele Administratie) yang terdiri dari dua batalyon mendarat di pantai Sanur.

Pasukan NICA yang dijuluki “Gajah Merah” berhasil menduduki Denpasar, lalu melanjutkan ekspansinya ke berbagai wilayah seperti Gianyar, Singaraja, Tabanan, Klungkung, Bangli, dan Karangasem.

Kehadiran tentara KNIL (Koninklijk Nederlands-Indisch Leger) di Bali meningkatkan ketegangan, memicu rakyat dan pasukan Indonesia untuk memilih strategi perang gerilya demi mempertahankan kedaulatan.

Menghadapi strategi ini, Belanda mengerahkan tiga kompi tambahan dari Lombok dan menawarkan Ngurah Rai jabatan serta harta agar berpihak kepada mereka. Namun, dengan penuh ketegasan dan cinta tanah air, Ngurah Rai menolak tawaran tersebut.

Penyusunan Strategi Serangan

Puputan Margarana didahului oleh persiapan matang. Pada 11 November 1946, Ngurah Rai dan Kapten I Gusti Wayan Debes bertemu dengan Komandan Polisi NICA pro-Indonesia, Wagimin.

Mereka merencanakan penyerangan ke Tangsi Polisi Tabanan pada 18 November 1946 guna merampas persenjataan. Untuk mendukung serangan ini, Markas Besar Umum (MBU) memerintahkan Staf Cabang II Melati mengumpulkan tenaga tambahan, dan terkumpul sekitar 300 anggota dari Pasukan Anak Banteng (AB) dan Barisan Banteng (BB), yang bersenjata sederhana seperti pedang, pentung, dan pisau belati.

Pada pukul 20.00, pasukan gabungan ini bergerak dari Pura Dalem Basa-Oleh menuju Tangsi Polisi Tabanan dan berhasil merebut senjata tanpa kehilangan anggota. Mereka kembali ke markas pada 19 November 1946 pagi dengan selamat.

Kemenangan tersebut dirayakan oleh pasukan dan masyarakat Marga melalui hiburan dan persembahyangan. Namun, serangan ini memicu kemarahan tentara Belanda, yang segera mengepung desa-desa seperti Tunjuk di utara Marga.

Puputan Margarana: Pertempuran Penghabisan

Pada dini hari 20 November 1946, pasukan Ciung Wanara dipimpin Ngurah Rai berpindah ke Banjar Kelaci. Sementara itu, Belanda telah mengerahkan Brigade Y KNIL di sekitar Marga, menangkap dan mengumpulkan warga desa di depan pasar Marga.

Suasana tegang berubah menjadi pertempuran ketika letusan pertama terdengar sekitar pukul 08.00 pagi, diikuti tembakan antara pasukan Ciung Wanara dan Gajah Merah.

Pertempuran terus memanas hingga pukul 10.00 pagi, dan di luar dugaan, pasukan Indonesia berhasil menekan posisi Belanda. Menyadari ini, Belanda meningkatkan serangan dengan mendatangkan pesawat pengebom dari Makassar.

Meski terkepung dan kalah jumlah, semangat Ngurah Rai dan pasukannya tidak surut. Mereka menyerukan “puputan” atau perang habis-habisan demi mempertahankan kemerdekaan.

Akhir yang Heroik

Di tengah kepungan musuh yang lebih kuat dan bersenjata lengkap, Ngurah Rai dan 86 prajurit Ciung Wanara gugur dalam pertempuran heroik ini. Mereka tewas dengan gagah berani, sementara pihak Belanda mengalami kerugian besar, kehilangan sekitar 400 prajurit.

Puputan Margarana menjadi simbol pengorbanan luar biasa dan cinta tanah air yang mendalam, di mana para pejuang bersedia mempertaruhkan nyawa demi menjaga kemerdekaan yang telah diperoleh.

Dengan dipimpin oleh I Gusti Ngurah Rai, seorang perwira dari Dewan Perjoeangan Republik Indonesia Sunda Kecil (DPRI SK), peristiwa ini meninggalkan jejak sejarah penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. [UN]