Pungli, Epidemi yang Tak Mudah Diberantas

Ilustrasi/ist

Koran Sulindo – Sore itu Presiden Joko Widodo datang ke Gedung Karya, Kementerian Perhubungan di Jalan Merdeka Barat, Jakarta, setelah operasi tangkap tangan Polri. Ini adalah kali pertama dalam sejarah republik ini seorang kepala negara sampai datang menyaksikan penangkapan kasus pungutan liar di kementerian negara.

Presiden menyeru seluruh instansi pemerintahan berhenti melakukan pungli. “Stop yang namanya pungli, hentikan yang namanya pungli. Terutama yang berkaitan dengan yang namanya badan pelayanan masyarakat, pelayanan rakyat. Stop. Hentikan.” kata Jokowi, awal pekan lalu.

Jokowi jelas bukan yang pertama berupaya melawan pungli. Hampir 40 tahun lalu Presiden Soeharto mengeluarkan Inpres tentang Operasi Tertib (Opstib). Operasi itu juga bertujuan menghilangkan praktek pungli yang dilakukan aparatur negara.

Pungli adalah perbuatan yang dilakukan Pegawai Negeri Sipil atau Pejabat Negara dengan cara meminta pembayaran sejumlah uang, tidak berdasarkan peraturan yang berkaitan dengan pembayaran tersebut. Hal ini sering disamakan dengan perbuatan pemerasan atau penyuapan, tergantung darimana melihatnya.

Dalam kamus bahasa Cina  “Li” berarti keuntungan; “Pung” berarti persembahan. Pungli (diucapkan Puuungli), berarti mempersembahkan (bagian) keuntungan. Proses memberi-menerima ini kemudian mencapai bentuknya terkini dan seolah menjadi mapan.

Tingginya tingkat ketidakpastian pelayanan publik sebagai akibat adanya prosedur pelayanan yang panjang dan melelahkan menjadi penyebab dari semakin banyaknya masyarakat yang menyerah ketika berhadapan aparat negara. Hal ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan masyarakat cenderung semakin toleran terhadap praktik pungli.

Awalnya, tindakan kolutif dari masyarakat lebih banyak karena keterpaksaan, yaitu sebagai bentuk respons mereka terhadap kerumitan, pemaksaan, dan ketidakpastian pelayanan publik. Namun pada perkembangannya masyarakat pengguna layanan justru banyak yang melakukan hal itu untuk mempercepat urusannya, dan tidak lagi menganggapnya sebagai praktik negatif yang merugikan. Masyarakat juga ikut melembagakan praktik pungli.

Opstib dibentuk untuk pembersihan pungli di jalan-jalan dan pelabuhan, namun sejak Inpres itu beralih ke aparat kementerian dan daerah. Terbentuknya Opstib setelah hampir dasawarsa usia Orde Baru menunjukkan pengakuan masih banyak yang tidak tertib dalam administrasi pemerintahan sehingga menciptakan peluang pungli. Saat itu Opstib yang dipimpin lembaga super body Komando Operasi Pemulihan Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) dibawah Laksamana Sudomo membuat masyarakat timbul harapannya. Kotornya aparatur negara saat itu sudah pada taraf yang menimbulkan putus asa.

Kopkamtib dibantu Laksusda (Pelaksana Khusus Kopkamtib Daerah, yaitu Kodam) di tingkat provinsi. Opstib bergerak dengan jaringan Satgas Intel Kopkamtib. Di setiap provinsi dan inspektorat jenderal kementerian ditempatkan tentara menjadi inspektur Opstib.

Meskipun Opstib menyelamatkan uang negara sebesar Rp 200 miliar dan menindak 6 ribu pegawai selama 4 tahun (1977-1981), Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) saat itu, Umar Wirahadikusumah, pada Oktober 1981 mengatakan, “tidak ada satu pun departemen yang bersih dari korupsi”. Sebulan kemudian Wakil Presiden Adam Malik menyebut korupsi di Indonesia sudah epidemik.

Gagalnya proyek Opstib karena ada kesan para atasan cenderung melindungi bawahan. Satu dan lain hal disebabkan karena pungutan liar memang terjadi dari atas sampai ke bawah, bahkan bukan mustahil merupakan jaringan kerjasama dari atas ke bawah.

Sapu Baru

Hampir 40 tahun kemudian Presiden Jokowi membentuk tim semacam Opstib itu. Sebelum meninjau OTT di Kemenhub itu, dalam rapat kabinet siang sebelumnya, Jokowi baru saja memutuskan mengadakan Operasi Pemberantasan Pungli dan Penyelundupan (OPP) sebagai salah satu langkah reformasi hukum. Tim OPP di bawah koordinasi Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto.

Sama seperti awal-awal pembentukan lembaga semacam ini, masyarakat berharap banyak. Karena untuk mengefektifkan pemberantasan pungli harus dimulai dengan membersihkan alatnya; dan karena dugaan tindak pidana pungli ditangani kepolisian, maka seharusnya lembaga itu menjadi prioritas untuk dibersihkan.

Sapu kotor takkan bisa membersihkan lantai yang kotor.

Sektor pelayanan publik yang dikelola pemerintah, baik departemen, lembaga pemerintah non departemen, maupun pemerintah daerah, seperti pelayanan pajak, perizinan, investasi, pembuatan KTP, SIM, STNK, IMB, transportasi, akta, sertifikat tanah, listrik, air, dan telepon merupakan sektor yang rentan pungli karena berkaitan langsung dengan kepentingan masyarakat. Di sektor ini terjadi hubungan antar domain, yakni pemerintah atau birokrasi sebagai penyelenggara pemerintahan, sektor usaha, dan masyarakat umum.

Pungli dalam bentuk tawar menawar biaya, kolusi, penjualan pengaruh, nepotisme, kuitansi fiktif, manipulasi laporan keuangan, transfer komisi, mark up, pemerasan, penyuapan (sogok) yang disamarkan sebagai hibah, hadiah atau uang terimakasih dan cara-cara lain yang tidak dapat dipertanggungjawabkan yang kesemuanya menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy).

Biaya pungli bisa sebesar 20 persen dari harga barang. Pada 2011 saja total setahun biaya yang dikeluarkan dunia usaha bisa mencapai Rp 25 triliun, dan angka itu terus membesar.

Presiden Jokowi memang telah melakukan gebrakan dengan memerlukan hadir meninjau OTT di Kemenhub. Namun, semua orang juga tahu OTT pungli di Kemenhub bukan hal yang luar biasa. Pungli di Kemnenhub hanyalah puncak dari gunung es. Di bawahnya, epidemi yang sudah berlangsung puluhan tahun tersebut lebih mengerikan. Bisakah tim OPP Jokowi menghentikan epidemi itu? [Didit Sidarta]