Koran Sulindo – Dikepung tubir karang curam, garis pantai di sekeliling pulau benar-benar berbahaya bagi kapal yang berlabuh. Belum lagi ombak besar Laut China Selatan yang selalu menjadi tantangan tersendiri bagi para nahkoda.
Dikelilingi gugusan terumbu karang dengan terumbu karang dan tubir hingga 2 km, di beberapa tempat karang membentuk cekungan yang dimanfaatkan sebagai alur keluar masuk oleh nahkoda.
Jangan membayangkan pelabuhan modern yang canggih dan infrastruktur lengkap. Di sebut berlabuh di pulau ini sebenarnya masih separuh jalan menuju darat. Kapal buang sauh di tengah laut, dan bongkar muat dilakukan sambil diayun gelombang.
Bagi pendatang baru prosesi menuju darat jelas menjadi siksaan, gabungan antara mual di perut dan ketakutan jatuh ke laut. Tantangan makin sulit jika kapal berlabuh di waktu malam dan hujan.
“Ini sudah lebih baik karena ada kapal yang rutin singgah, bertahun-tahun yang lalu tak satupun kapal berlayar ke sini,” kata Musar putra asli pulau itu yang memilih melanjutkan perkuliahan di Batam.
Musar bercerita sebelumnya memang pernah ada kapal penumpang yang rutin buang jangkar di Pulau Laut, namun ketika kapal itu rusak dan tak beroperasi praktis pulau terisolasi. Wilayah terdekat seperti Natuna atau Sedanau hanya bisa oleh kapal-kapal pongpong. Tentu saja dengan tantangan yang lebih ‘berbahaya’.
“Kalau dermaga yang dibangun di Tanjung Mayan tuntas, bongkar muat pasti lebih mudah,” kata Musar.
Menggunakan kapal perintis pulau ini bisa ditempuh antara 5-10 jam perjalanan kapal dari Pelabuhan Selat Lampa atau Pelabuhan Sedanau, sedangkan jika perjalanan dilakukan dari Pontianak setidaknya butuh waktu 3 hari 3 malam.
Beruntung, sekarang Jakarta lebih memperhatikan orang-orang di Laut China Selatan, termasuk di Pulau Laut. Mereka kini mengoperasikan kapal perintis seperti KM Sabuk Nusantara 59, KM Sabuk Nusantara 39 dan KM Sabuk Nusantara 30 yang bergantian berlabuh setiap minggu.
“Lumayan, dulu orang yang mau berobat ke Natuna ya harus carter pongpong, sekali carter harganya jutaan. Kalau nggak punya uang?” kata Musar setengah bertanya.
Musar benar, keadaan sekarang memang membaik meski satu-satunya akses menuju Pulau Laut tetaplah hanya menggunakan kapal perintis.
KM Sabuk Nusantara 30 singgah di Pulau Serasan melayani rute Tanjungpinang-Kuala Maras-Tarempa-Midai-Pulau Tiga-Sedanau-Pulau Laut-Selat Lampa-Serasan-Subi-Sintete-Tambelan-Tanjungpinang dengan durasi 14 hari.
Dengan durasi yang sama KM Sabuk Nusantara 39 menjalani arah sebaliknya sedangkan KM Sabuk Nusantara 59 melayani Sintete-Tambelan-Tanjung Pinang-Letung-Tarempa-Midai-Sedanau-Pulau Laut-Selat Lampa-Subi-Serasan-Sintete dengan durasi selama 12 hari.
Mata pencarian utama masyarakat Pulau Laut adalah adalah nelayan. Namun biasanya ketika cuaca buruk, mereka akan alih profesi menjadi petani atau merawat kebun kelapa.
Pertanian yang dihasilkan di wilayah ini adalah ubi kayu, cabe atau lada, pisang, kacang dan sayur-sayuran. Sedangkan komoditas perkebunan berupa kelapa, cengkeh, karet, durian dan mangga.
“Kita punya ikan napoleon, kerapu, teripang hingga siput laut. Ikan-ikan itu biasanya dijual dalam kondisi hidup untuk pembesarn lebih lanjut di Sedanau,” kata Iksan, bapak dua anak yang ditemui di Pantai Tanjung Mayan.
IKsan menyebut agar ikan tetap hidup pengusaha dan nelayan manampung hasil tangkapan itu dalam keramba di sekitar pantai. Ikan-ikan itu ditangkap menggunakan alat tradisional seperti pancing dan bubu dengan menggunakan perahu tempel.Nilai ekonomi tinggi berlaku juga kepada teripang berdasarkan jenisnya.
“Harga yang menentukan pengumpul berdasarkan permintaan dari Tanjungpinang, Kalimantan atau Singapura, Malaysia, dan Hongkong,” kata Iksan.
Ia mengaku penghasilan sebagai nelayan di Pulau Laut sebenarnya lebih dari cukup, namun seringkali kelebihan itu tak berarti karena harga barang-barang dan kebutuhan yang mahal. Tentu saja mahal, komodita-komoditas itu harus didatangkan dari Tanjungpinang atau Pontianak.[TGU]