Pulau Buru: Sejarah Kelam dan Jejak Budaya

Tapol di Pulau Buru (Sumber foto: Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965)

Pulau Buru, dengan segala keindahan dan potensinya, menyimpan lapisan kisah yang tak hanya bicara tentang keindahan alamnya, tetapi juga tentang luka sejarah yang sulit dilupakan.

Pulau ini menjadi saksi bisu perjalanan manusia yang bertahan di tengah tekanan politik yang kejam, sekaligus bukti bahwa dari keterbatasan dapat lahir karya monumental yang mengguncang dunia.

Di balik perbukitan hijau dan pantai-pantai yang memesona, tersembunyi cerita tentang perjuangan, kreativitas, dan harapan. Mari kita telusuri lebih dalam kisah yang ada di balik Pulau Buru.

Pulau Buru, salah satu pulau besar di Kepulauan Maluku, menyimpan sejarah kelam sekaligus menjadi saksi perjuangan dan kreativitas manusia di tengah penindasan. Terletak strategis di antara pulau-pulau seperti Manipa, Seram, dan Ambon di timur; Obi, Sulabesi, dan Mangole di utara; serta Pulau Buton di barat dan Laut Banda di selatan, Pulau Buru dahulu merupakan bagian dari Kabupaten Maluku Tengah sebelum akhirnya menjadi dua kabupaten, yaitu Kabupaten Buru dan Kabupaten Buru Selatan, pasca pemekaran wilayah pada era Reformasi.

Pulau Buru memiliki peran penting dalam sejarah politik Indonesia. Menurut laman Ensiklopedia Sejarah Indonesia, pada masa Orde Baru (1969–1979), pulau ini dijadikan kamp pembuangan bagi sekitar 12 ribu orang yang dianggap terkait dengan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Para tahanan politik (tapol) ini dipindahkan ke lokasi yang dikenal sebagai Tempat Pemanfaatan Buru (Tefaat Buru), bagian dari proyek Instalasi Rehabilitasi Buru (Inrehab Buru) yang dikelola oleh Badan Pelaksanaan Resettlement Buru (Bapreru).

Pemilihan Pulau Buru sebagai lokasi pengasingan didasarkan pada jaraknya yang jauh dari pusat politik di Jakarta, kesuburannya yang dianggap mampu mendukung kemandirian ekonomi tapol tanpa membebani anggaran negara, serta hasil survei pada Februari dan Maret 1969 yang merekomendasikan pulau ini sebagai tempat resettlement.

Rombongan pertama tapol diberangkatkan pada 17 Agustus 1969, dan rombongan terakhir dibebaskan pada November 1979 setelah sepuluh tahun menjalani pengasingan. Salah satu tahanan politik yang paling dikenal adalah sastrawan besar Pramoedya Ananta Toer. Ia diasingkan di Pulau Buru karena perannya sebagai redaktur di Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra), organisasi kebudayaan yang berafiliasi dengan PKI.

Meski berada dalam kondisi yang sulit, Pramoedya tetap produktif menulis dan menghasilkan karya-karya monumental yang kini menjadi bagian penting dari sastra Indonesia.

Selama masa pengasingan, Pramoedya menulis sejumlah karya terkenal, termasuk Tetralogi Buru: Bumi Manusia (1980), Anak Semua Bangsa (1980), Jejak Langkah (1985), dan Rumah Kaca (1988). Karya-karya ini mendapatkan pengakuan internasional dan telah diterjemahkan ke dalam lebih dari 30 bahasa.

Bahkan, novel Bumi Manusia diadaptasi menjadi film pada tahun 2019 oleh sutradara Hanung Bramantyo, dibintangi Iqbaal Ramadhan, Mawar de Jongh, dan Sha Ine Febriyanti. Selain Tetralogi Buru, Pramoedya juga menulis Nyanyi Seorang Bisu I (1995) dan II (1996), kumpulan catatan, esai, dan surat yang menggambarkan keseharian serta kegelisahannya selama di Pulau Buru.

Karya ini pertama kali diterbitkan di Belanda dengan judul Lied van een Stomme pada 1988–1989 dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia pada 1995 untuk merayakan ulang tahun Pramoedya yang ke-70.

Pulau Buru tidak hanya menjadi simbol penindasan, tetapi juga sebuah situs ingatan (lieux de mémoire), sebagaimana dijelaskan oleh Pierre Nora. Memori kolektif tentang pengasingan di Pulau Buru terus hidup melalui berbagai karya sastra, memoar, dan dokumentasi sejarah.

Selain Pramoedya, beberapa mantan tapol lainnya juga menulis tentang pengalaman mereka, di antaranya Hersri Setiawan dengan Memoar Pulau Buru (2004), Kresno Saroso dengan Dari Salemba ke Pulau Buru (2002), Djoko Sri Moeljono dengan Pembuangan Pulau Buru: Dari Barter ke Hukum Pasar (2017), Soeharsojo Goenito dengan Tiada Jalan Bertabur Bunga: Memoar Pulau Buru dalam Sketsa (2016), dan Mars Noersmono dengan Bertahan Hidup di Pulau Buru (2017).

Memoar-memoar ini menjadi saksi bisu yang menggambarkan realitas kehidupan di Pulau Buru, dari kerja paksa hingga perjuangan untuk bertahan hidup.

Pulau Buru ternyata juga menyimpan peninggalan bersejarah berupa benteng VOC yang terletak di Negeri Kayeli, Kecamatan Waepo. Benteng ini awalnya dibangun oleh Portugis dan kemudian direbut serta dibangun kembali oleh Belanda pada tahun 1785. Bangunan berbentuk segi empat ini terbuat dari batu bata dan menjadi saksi masa kejayaan Kayeli sebagai pusat pemerintahan Belanda di wilayah tersebut.

Selain nilai sejarahnya, Pulau Buru juga memiliki panorama alam yang sangat indah dan masih asri. Mulai dari pantai hingga bukit-bukitnya menawarkan pemandangan yang memukau.

Salah satu destinasi wisata andalan Pulau Buru adalah Pantai Jikumerasa yang terletak di Desa Jikumerasa, Kecamatan Lilialy. Pantai ini terkenal dengan pasir putihnya dan lumba-lumba yang sering melompat di perairannya, menambah daya tarik bagi para wisatawan.

Ada juga Air Terjun Waetina di Desa Bara, Kecamatan Airbuaya. Air terjun ini memiliki tiga tingkatan yang membentuk sebuah kolam dengan air yang sangat jernih, dikelilingi oleh lingkungan yang asri.

Bagi para pecinta keindahan alam lainnya, Bukit Tatanggo adalah lokasi yang tepat untuk menikmati momen matahari terbenam di Pulau Buru. Tempat ini sangat cocok untuk traveler yang ingin mencari ketenangan atau sekadar menikmati suasana.

Pulau Buru kini telah bertransformasi menjadi bagian dari dua kabupaten, yaitu Kabupaten Buru dan Buru Selatan, dengan potensi alam dan sejarah yang kaya. Meski demikian, sejarah kelam pulau ini tidak boleh dilupakan.

Pulau Buru mengajarkan pentingnya memahami masa lalu sebagai pelajaran berharga untuk menjaga nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Sebagai situs sejarah dan ingatan, Pulau Buru menjadi pengingat akan dampak buruk represi politik, sekaligus bukti ketangguhan manusia dalam menciptakan karya besar meski berada di bawah tekanan. [UN]