Koran Sulindo – KETEGANGAN di Semenanjung Korea diperkirakan bisa memicu perang kapan saja. Karena itu, setiap pihak diminta untuk menahan diri dan tidak saling memprovokasi. Akan tetapi, saran itu tidak menjadi pertimbangan bagi kedua negara yang berada dalam ketegangan tinggi.
Terbaru, Korea Selatan memantau Republik Demokratik Rakyat Korea (Korea Utara) sedang mengadakan latihan penembakan skala besar dalam memperingati ulang tahun angkatan bersenjata mereka ke-85. Latihan penembakan berskala besar, yang melibatkan satuan artileri itu terpantau di Wonsan, Korea Utara.
Sepekan sebelum latihan tersebut, Korea Utara terlibat perang wacana dengan Amerika Serikat (AS) yang menjadi pendukung utama Korea Selatan. Perang wacana itu dipicu oleh misi uji coba nuklir Korea Utara. AS memperingatkan negeri di bawah pimpinan Kim Jong Un untuk “menjaga sikap”. Walau sering mendapat sanksi dan kecaman, Korea Utara masih acap menguji coba rudal balistik dan nuklir mereka sebagai upaya menjaga kedaulatan.
AS semakin provokatif ketika mereka memindahkan kapal induk USS Carl Vinson ke kawasan Semenanjung Korea pada pekan ini. Korea Utara mengingatkan AS bahwa kapal induk itu bisa ditenggelamkan hanya dalam satu kali serangan.
Kecaman terhadap uji nuklir Korea Utara juga muncul dari negara-negara Asean. Mereka menganggap ancaman serangan nuklir Korea Utara terhadap AS dan sekutunya telah menyebabkan ketegangan di Semenanjung Korea semakin memanas. Asean mendesak Korea Utara untuk patuh pada ketetapan PBB mengenai nuklir.
Indonesia tentu saja menjadi bagian dari sikap tersebut. Dan itu tentu saja berlainan dengan sikap Bung Karno yang sangat menghomati Kim Il-Sung (pendiri Korea Utara) yang merupakan kakek Kim Jong Un. Solidaritas Bung Karno terhadap Korea Utara tak perlu diragukan. Pasalnya, ia pernah menggagas Poros Jakarta–Peking–Pyongyang. Poros ini dibentuk untuk menghalau dominasi AS di Asia.
Tidak banyak negara yang berani melawan hegemoni AS di masa itu. Selain Indonesia dan Tiongkok, Korea Utara merupakan negara yang berani melawan kekuasaan negara-negara yang menghisap dan menindas dengan dalih demokrasi serta hak asasi manusia.
Sebagai seorang visioner, Bung Karno tahu bahwa Korea Utara dan Tiongkok merupakan negara dengan potensi luar biasa. Itu sebabnya, ia menggandeng dan menjalin kerja sama dengan kedua negara tersebut. Apa yang diprediksi Bung Karno itu menjadi kenyataan. Setelah ia dijatuhkan pada 1965, pemimpin Korea Utara Kim Il-Sung justru berhasil membawa negaranya berdikari meski berada di bawah intimidasi AS dan sekutunya. Sebuah gagasan yang juga menjadi cita-cita Bung Karno untuk Indonesia.
Keberhasilan Korea Utara itu tak lalu menuai pujian. AS bersama sekutunya justru mengkampanyekan secara negatif hasil yang dicapai Korea Utara. Melalui berbagai media yang mereka kuasai, uji coba nuklir Korea Utara kerap disebut gagal. Lalu, media Barat itu juga memberitakan jutaan rakyat Korea Utara mati karena kelaparan. Kemudian, biaya peluncuran roket, misalnya, disebut mencapai US$ 900 juta atau sepertiga PDB negara tersebut.
Seperti Kuba, Korea Utara juga disebut sebagai negara terbelakang. Bagi Barat pembangunan digambarkan dengan keberadaan gedung tinggi, industrialisasi, dan infrastruktur lainnya. Celakanya lagi, pembangunan kemudian diukur hanya untuk memenuhi kebutuhan fisik.
Jika sikap Asean sudah seperti AS dan sekutunya, maka sikap politik luar negeri Indonesia yang anti-terhadap penghisapan dan penjajahan menjadi tak bermakna. Indonesia yang dulu bersolidaritas terhadap kemerdekaan negara-negara Asia, Afrika dan Amerika Latin, kini hilang tak berjejak. Hanya tinggal kenangan dan jargon yang usang. [Kristian Ginting]