Joko Widodo mencium bendera Merah Putih seusai diumumkan sebagai Capres PDI Perjuangan, di Rumah Pitung, Marunda, Jakarta Utara (14/3/2014). Jokowi saat itu mengatakan siap menerima mandat dari Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri untuk maju sebagai Calon Presiden pada Pemilihan Presiden tahun 2014/ANTARA FOTO/ Tempo-Imam Sukamto

Koran Sulindo – Sebanyak 47 persen publik menganggap kerja sama Indonesia dan China adalah murni bisnis yang saling menguntungkan, tidak ada kaitan dengan paham komunis atau PKI.

Temuan itu berdasarkan hasil survei Direktur Eksekutif SMRC Sirojudin Abbas saat mempresentasikan hasil survei nasional SMRC bertajuk Sikap Publik atas Isu Kebangkitan PKI secara daring, Rabu (30/9).

Abbas mengatakan, survei tersebut dilakukan sejak 23-26 September 2020 dengan melibatkan 1203 responden, yang diwawancarai melalui sambungan telepon yang terpilih secara random. Margin of error diperkirakan +/-2,9 persen.

Itu artinya, menunjukkan bahwa kampanye negatif untuk membangun citra bahwa peningkatan hubungan perdagangan Indonesia dengan China adalah sesuatu yang berdampak buruk karena akan menghidupkan kembali komunisme tidaklah efektif.

Persentase warga yang setuju dengan pendapat kerja sama Indonesia dan Tiongkok dapat menghidupkan kembali paham komunis dan PKI di Indonesia hanyalah 26 persen. Tapi Abbas menyatakan angka ini tidak bisa dianggap remeh.

“Kita harus ingat bahwa menurut survei ini sebenarnya warga yang percaya dengan isu kebangkitan PKI hanya 14 persen. Dan yang percaya kebangkitan PKI sudah menjadi ancaman lebih kecil lagi,” kata Abbas.

Jadi, bila ada 26 persen warga yang menganggap kerja sama dengan China dapat membangkitkan kembali paham komunisme, itu menunjukkan bahwa kekhawatiran tersebut sebenarnya masih hidup dan sangat mungkin dieksploitasi.

Pandangan yang setuju dengan pendapat kerja sama Indonesia dan Tiongkok dapat menghidupkan kembali paham komunisme dan PKI berbeda bila dilihat dari kelompok demografis.

Persentase pria yang setuju dengan pendapat tersebut sekitar 29 persen, sementara 24 persen perempuan setuju. Adapun warga kota yang setuju dengan pendapat tersebut 26 persen, sementara di desa 27 persen.

Sementara, yang setuju dengan pendapat tersebut lebih banyak pada warga yang tinggal di Bali + Nusa Tenggara 53 persen, Jawa Barat 39 persen dan Kalimantan 38 persen. Sedangkan di daerah lain, persentasenya di bawah 30 persen.

Dari sisi agama, dari responden yang beragama Islam yang setuju dengan pendapat tersebut hanya 26 persen, sementara yang beragama lainnya 33 persen.

Dilihat dari faktor suku, yang setuju dengan pendapat tersebut lebih banyak pada yang berdarah Minang 55 persen dan Sunda 37 persen. Dari sisi usia, kelompok berumur 21 ke bawah paling tinggi yang percaya dengan pendapat tersebut 37 persen.

Kelompok umur lainnya di bawah 26 persen. Dari sisi pendidikan, yang berpendidikan SLTA paling tinggi yang setuju dengan pendapat tersebut, sebanyak 29 persen Kelompok pendidikan lainnya di bawah 26 persen.

Dari sisi pendapatan, kelompok berpendapatan Rp 1-2 juta dan Rp 2-4 juta lebih banyak yang setuju dengan pendapat tersebut, yakni 31 persen Kelompok berpendapatan selain itu, persentasenya jauh lebih kecil, di bawah 23 persen.

Abbas juga melihat tingkat kesetujuan dengan pendapat kerja sama Indonesia dan China dapat menghidupkan kembali paham komunisme dan PKI ini berhubungan dengan pembelahan masyarakat terkait Pemilihan Presiden 2019.

“Yang setuju dengan pendapat tersebut lebih banyak di kalangan pendukung Prabowo dibandingkan di kalangan pendukung Jokowi,” kata Abbas.

Survei SMRC menunjukkan, 40 persen pemilih Prabowo pada Pilpres 2019 setuju dengan pendapat tersebut, sementara hanya 21 persen pemilih Jokowi yang setuju.

Dari sisi pilihan partai politik, yang setuju dengan pendapat tersebut lebih banyak ditemukan pada pemilih PKS 54 persen, pemilih Nasdem 53 persen dan pemilih Gerindra 41 persen. [WIS]