Puan: Program Padat Karya Perlu Regulasi dan Pengawasan

Menko PMK Puan Maharani/istimewa

Koran Sulindo – Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Puan Maharani menekankan pentingnya regulasi dan pengawasan untuk program padat karya.

Kemenko PMK melakukan rapat koordinasi (Rakor) tingkat menteri menindaklanjuti arahan Presiden Joko Widodo yang meminta alokasi 20 persen dari total dana desa wajib digunakan untuk program padat karya mulai 2018.

“Rakor ini fokus membahas bagaimana implementasi dana desa untuk program-program padat karya yang akan dimulai pada Januari 2018. Program padat karya itu diharapkan mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal desa,” kata Puan, usai memimpin rapat koordinasi tingkat menteri di Kantor Kemenko PMK, Jakarta, Kamis (2/11).

Turut hadir, Menteri Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo, Wakil Menteri Keuangan, Mardiasmo, Kepala Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Ardan Adiperdana, serta perwakilan Kementerian dan Lembaga terkait.

Menurut Puan, sumber kegiatan pembangunan desa dapat bersumber dari Dana Desa (APBDes) dan kegiatan kementerian. Adapun kegiatan pembangunan desa yang bersumber dari APBDesa, regulasi yang ada saat ini memberikan ruang untuk kegiatan swakelola (untuk padat karya) dengan nilai proyek sampai dengan Rp200 Juta. Sedangkan untuk proyek dengan nilai di atas Rp200 Juta, dilaksanakan melalui Basis Kontrak.

Sedang kegiatan pembangunan yang bersumber dari kementerian (APBN), selain juga terikat dengan regulasi nilai kontrak, juga membutuhkan penetapan lokus desa sebagai basis kementerian untuk melakukan kegiatan Padat Karya.

Kegiatan tersebut dipercaya dapat meningkatkan penghasilan masyarakat desa secara langsung. Meski begitu, kegiatan yang mulai dilaksanakan pada Januari 2018 itu harus menggunakan bahan baku dan tenaga kerja lokal.

Untuk membangun kegiatan ekonomi padat karya di desa-desa, pemerintah mengalokasikan langsung dari APBN Rp60 triliun pada tahun 2018, sehingga rata-rata desa menerima Rp800 juta per tahun. Jumlah ini lebih besar dibanding dana desa 2016 sebesar Rp49,96 triliun.

“Ke depan diharapkan dana desa bisa dipakai untuk program padat karya, meningkatan perekonomian lokal desa, membangun infrastruktur desa. Program fisik ini juga harus memakai bahan baku dari desa setempat, pekerjanya masyarakat desa itu juga, sehingga manfaatnya dirasakan langsung oleh masyarakt desa,” ujarnya.

Dijelaskan, program padat karya tersebut, bisa berupa pembangunan infrastruktur lokal desa seperti membangun jalan desa, posyandu, sarana irigasi. Semua program infrastruktur fisik yang dikerjakan masyarakat desa sendiri secara swakelola.

“Untuk pengerjaannya dilakukan oleh masyarakat desa setempat sehingga ada lapangan pekerjaan juga bagi masyarakat desa. Kemudian kita upayakan nantinya rakyat desa yang bekerja ini mendapatkan uang harian. Inilah yang sedang diatur formulasinya melalui Kementerian Keuangan dan Kementeria Desa dan diawasi BPKP agar berjalan baik,” ujarnya.

Sejauh ini, penggunaan dana desa juga sudah mulai memberi afirmasi kepada desa-desa tertinggal dan desa terpencil yang memiliki tingkat kesulitan lebih dibanding desa lainya. Misalnya desa sangat tertinggal dan miskin, sulit dijangkau karena letak geografisnya yang berat, maka desa seperti ini akan diutamakan penghitungan besaran dana desa yang akan diterima.

“Ini perlu dilakukan agar desa sangat tertinggal dan tertingal bisa mengejar ketertinggalannya dari desa lain,” katanya.

Menko PMK berpesan perlunya penguatan pedoman penyusunan APBDes dalam bentuk Permendagri tentang Pedoman penyusunan APBDes untuk memastikan agar kegiatan pembangunan desa yang menggunakan APBDes dipergunakan untuk kegiatan bersifat padat karya.

Termasuk penguatan melalui Permendes terkait pedoman prioritas dan kriteria pemanfaatan dana desa untuk Kegiatan padat karya, serta penguatan metode pengawasan guna memastikan pelaksanaan kegiatan padat karya berjalan tepat manfaat dan tepat sasaran. [CHA]