Koran Sulindo – Kamis siang, 19 Januari 2017, berbagai media berita di Internet memberitakan: Komisi Pemberantasan Korupsi menetapkan Emirsyah Satar sebagai tersangka kasus suap, dalam kapasitasnya semasa ia menjadi Direktur Utama PT Garuda Indonesia. “Nilai suapnya cukup signifikan, jutaan dolar Amerika,” ungkap Kabiro Humas KPK Febri Diansyah ketika itu.
Diduga, Emirsyah menerima suap berupa uang senilai US$ 2 juta dan barang senilai US$ 2 juta–yang tersebar di Singapura dan Indonesia—dari perusahaan asal Inggris Rolls-Royce, untuk memuluskan pembelian 50 mesin pesawat Airbus SAS pada periode 2005-2014.
Diduga pula, pemberian suap itu diperantari oleh pendiri sekaligus Chief Executive Officer PT Mugi Rekso Abadi (MRA), Soetikno Soedarjo. Karena, Soetikno adalah juga beneficial owner perusahaan Connaught International Pte. Ltd. yang berdomisili di Singapura dan menjadi konsultan penjualan pesawat dan mesin pesawat Airbus dan Rolls-Royce di Indonesia.
Awalnya, pengadilan di Inggris memutuskan Rolls Royce membayar denda 671 juta pounsterling (sekitar Rp 11 triliun) karena melakukan pratik suap di beberapa negara, antara lain di Malaysia, Thailand, Cina, Brazil, Kazakhstan, Azerbaizan, Irak, dan Anggola. Keputusan tersebut berdasarkan investigasi Serious Fraud Office (SFO) Inggris.
Nah, SFO dan Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB) Singapura yang sedang menginvestigasi suap Rolls Royce di beberapa negara kemudian menginformasikan temuannya ke KPK dan memberikan sejumlah alat bukti. KPK menindaklanjuti dengan penyelidikan dan penyidikan, sehingga Emirsyah dan Soetikno ditetapkan sebagai tersangka.
Emirsyah disangkakan melanggar Pasal 12 huruf a atau Pasal 12 huruf b atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP, dengan ancaman pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp 200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar. Akan halnya Soetikno Soedarjo diduga sebagai pemberi disangkakan melanggar Pasal 5 ayat (1) huruf a atau Pasal 5 ayat 1 huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat (1) KUHP dengan ancaman pidana paling singkat satu tahun dan paling lama lima tahun ditambah denda paling sedikit Rp 50 juta dan paling banyak Rp 250 juta.
Terkait pemeriksaan kedua tersangka itu, pihak KPK pun memanggil suami artis Dian Sastro untuk dimintai keterangan pada Selasa kemarin (27/3). Suami Dian adalah Maulana Indraguna Sutowo, Direktur PT MRA. Namun, Indraguna Sutowo tidak datang memenuhi panggilan KPK.
Padahal, menurut Febri Diansyah, keterangan Indraguna Sutowo sangat diperlukan untuk mengetahui peran PT MRA dalam kasus ini. “Kami perlu mengetahui bagaimana mekanisme keuangan dan mekanisme koorporasi yang terjadi di MRA. Karena itulah orang-orang yang pernah menjadi pendiri di MRA dan juga sekarang salah satu direktur kami lakukan pemeriksaan sebagai saksi,” tutur Febri di Gedung KPK, Kuningan, Jakarta Selatan, Selasa (27/3).
Sebelumnya, pada 23 Maret lalu, KPK telah memanggil dan meminta keterangan mantan istri Soetikno Soedarjo, Dian Muljadi. Setelah diperiksa, Dian mengatakan dirinya diajukan 10 pertanyaan oleh penyidik KPK, antara lain terkait operasional perusahaan PT MRA.
Kendati sudah ditetapkan sebagai tersangka sejak lebih dari satu tahun lalu, baik Emirsyah maupun Soetikno sampai sekarang masih melenggang di alam bebas alias belum berada di balik jeruji rumah tahanan KPK. Namun, KPK tidak memberi alasan tegas di balik belum ditahannya kedua tersangka itu. “Semua kasus akan kami limpahkan kalau semua bukti yang dibutuhkan sudah selesai. Kasus Garuda Indonesia dugaan penerimaan sudah kami temui bukti-buktinya, dari pemeriksaan juga kami sudah dapat info,” ungkap Febri Diansyah di Gedung KPK pada 23 Januari 2018 silam.
Dijelaskan Febri, masih ada kebutuhan-kebutuhan terkait kerja sama internasional dalam penyidikan kasus itu. “Terakhir, kami baru proses mutual legal assistance untuk beberapa negara yang kami butuhkan bukti-buktinya. Jadi, kami tinggal tunggu respons, ada karakter-karakter kasus korupsi tertentu yang sifatnya transnasional. Itu butuh kerja sama beberapa negara,” katanya. [RAF]