Koran Sulindo – Suatu pagi di pengujung Januari 1965, Bung Karno memanggil Pangdam Pangdam Mulawarman Brigjen Suhario Padmodiwiryo atau yang lebih dikenal sebagai Hario Kecik.
Selain mengungkap intel Inggris yang ditanam di tubuh angkatan bersenjata, obrolan pagi di bagian belakang istana setelah olah raga itu mengungkap persaingan dan intrik sengit di Staf Umum Angkatan Darat atau SUAD.
Dalam bukunya Dari Moskow ke Peking, Hario bercerita bagaimana ia membongkar intel itu dengan ‘mesin ketik’ sekaligus rasa kecewanya terhadap Ahmad Yani yang enggan menindak intel itu.
Hario Kecik, Membongkar Intel Inggris dengan Mesin Ketik
Setelah terbukti Ahmad Yani terbukti tak menindak keberadaan intel Inggris di Staf Umum Angkatan Darat, menurut Hario Kecik, Inggris makin besar kepala dan merasa bisa bertindak semena-mena pada pejabat militer di eselon bawah seperti Kodam.
“Tapi semua permainan licik di belakang itu saya anggap sepi karena saya selalu ingat kata-kata mutiara Bapak, yaitu ‘jika kamu dimaki-maki oleh imperialis berarti kamu pejuang sejati, tetapi jika kamu dipuja-puji oleh si imperialis berarti kamu bukan pejuang,” kata Hario.
Mendengar penjelasan panjang lebar itu, Bung Karno lama terdiam. Ia lalu menyambung dengan cerita mengapa orang-orang Inggris dan jenderal lain di SUAD merasa grissinen menghadapi Hario.
“Bagaimana kamu menghadapi itu. Dan bagaimana dengan sejumlah jenderal lain dari SUAD?Ayo saya perintahkan kamu sekarang menjelaskan semua. Hal ini penting sekali,” kata Bung Karno.
Merasa tak bisa lagi menutup-nutupi, Hario Kecik akhirnya bicara terus terang tanpa meragu. Ia mulai dari jenderal-jenderal yang dikenalnya secara pribadi dan bisa dipercaya seperti S. Parman yang menjabat Kepala Staf I dan Sutoyo yang menjabat Prokureur Jenderal AD.
“Tentang mereka berdua itu saya dapat menjamin mereka bebas dari segala macam korupsi. Saya mengenal mereka lebih dekat lagi waktu sama-sama aktif di Ikatan Perwira Republik Indonesia,” kata Hario. “Jadi kamu percaya sama Sutoyo dan S Parman?” tanya Bung Karno.
Persaingan di AD
Pertanyaan Bung Karno itu langsung dibenarkan Hario. Ia menambahkan bahwa jalan pikiran mereka sama tentang berbagai masalah penting seperti korupsi dan politik anti-kapitalisme, imperialisme dan feodalisme.
Kepada Bung Karno lebih lanjut Hario menjelaskan merujuk pada proses Gerakan 17 Oktober 1952 di mana kedua perwira itu menunjukkan pembelaan politik Bung Karno.
Mereka bahkan mulai dengan jelas menunjukkan di mana mereka berdiri dan mau bersatu dengan kelompok yang tidak setuju dengan Gerakan 17 Oktober itu yaitu kelompok Zulkifli Lubis, Kepala Intelijen Kementerian Pertahanan.
Saat menjabat sebagai Prokureur Jenderal AD, Sutoyo bahkan pernah bercerita kepada Hario bahwa ia bakal menindak Yani dan DI Panjaitan terkait pembelian senjata serta peralatan militer dari Eropa.
“Kepada Sutoyo saya menyarankan bahwa ia harus benar-benar serius merencanakan niatnya. Karena saya mengerti situasi di kalangan atas militer saat itu yang menjadi sangat kompleks,” kata Hario.
“Apa itu yang kamu maksudkan dengan sangat kompleks? Terangkanlah?” tanya Bung Karno menuntut.
“Pak, maafkan saya jika Bapak menganggap saya melihat mata-mata di mana-mana, mungkin itu subyektivitas dari pihak saya, tapi sayangnya saya harus membenarkan pendapat bapak itu,” kata Hario.
Hario memulai penjelasannya kepada Bung Karno dengan keberhasilan TNI menumpas pemberontakan PRRI/Permesta yang dianggapnya menghilangkan kontradiksi di AD.
Namun di sisi lain, keberhasilan itu justru menampilkan kontradiksi baru yang kemudian timbul dalam berbagai bentuk baik yang bersifat intern maupun ekstern. Hario menyebut keberadaan Yani di SUAD ternyata memicu dissequilibirium internal.
Tampilnya Yani menumpas PRRI/Permesta membuat Nasution kurang senang. Menurut Hario musuh-musuh revolusi mengerti tentang keadaan intern di SUAD ini.
Hario juga menyebut, kontradiksi baru juga muncul terkait hubungan Yani dan Soeharto yang baru masuk ke SUAD dari Kodam Diponegoro yang didukung Jenderal Gatot Subroto. Padahal ia terbukti menjalankan penyelundupan besar-besaran melalui Pelabuhan Semarang.
Menurut para pewira dari Jawa Tengah pada intinya Soeharto diam-diam iri kepada Yani karena merasa lebih senior namun kedudukannya lebih rendah.
Selain kontradiksi-kontradiksi itu kontradiksi yang lebih permanen berbahaya justru rakyat dan blok imperialisme. Hario melihat pemberontakan PRRI/Permesta tidak seperti pemberontakan RMS atau DI-TII tapi sebagai combat-reconaisance yang dijalankan Amerika.
Operasi Intelijen
Menurut Hario, PRRI/Permesta bukan sekadar inisiatif beberapa perwira AS yang nakal tapi sebagai kelanjutan dari suatu operasi intelijen imperialis jangka panjang sejak tahun 1945.
PRRI/Permesta sebagai combat-reconaisance adalah reevaluasi mengenai keadaan Indonesia di bidang politik dan militer, teristimewa tentang kualitas para tokoh personel di bidang itu. Di mana letak kekuatan dan kelemahan Indonesia? Dengan bisa dihancurkannya PRRI/Permesta kesimpulan apa yang ditarik Amerika.
“Kita harus berhati-hati menarik konklusi karena akan sangat berbahaya di hari depan jika kita salah menyimpulkan,” kata Hario kepada Bung Karno.
Menurut analisa Hario Kecik, musuh-musuh Indonesia para imperialis itu hanya melihat Bung Karno sebagai musuh nomor satu yang ingin mereka lenyapkan dengan cara apapun dan kapanpun.
“Kalau saya saja bisa menganalisis bahwa SUAD lemah dan birokrasi atasan dari aparatur pemerintah di pusat korup, pasti intel imperialis juga tahu. Semua pemberontak telah kita kalahkan dengan kekuatan semangat nasionalisme yang hanya Bapak kobarkan,” kata Hario.
Ini menyimpulkan kalaupun mereka bisa menyulut pemberontakan di daerah, semua itu tak bakalan berhasil jika Bung Karno masih ada. Jadi sasaran utama mereka seharusnya Bung Karno, itu yang harus dilakukan mereka jika ingin menghancurkan atau mengubah Indonesiamenjadi satelit mereka.(TGU)