Koran Sulindo – Kasus yang menimpa politikus Partai Golkar Eni Maulani Saragih terus berkembang. Setelah Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkannya sebagai tersangka penerima suap proyek pembangunan PLTU Riau-1, KPK kini mengembangkan kasusnya ke PT PLN (Persero).
Tak tanggung-tanggung, KPK menggeledah rumah Direktur Utama PLN Sofyan Basir di kawasan Bendungan Hilir, Jakarta Pusat. Soal penggeledahan ini diakui Juru Bicara KPK Febri Diansyah. Dikatakannya, penggeledahan itu masih berlangsung dan tujuannya untuk menemukan bukti terkait penangkapan Eni.
Lantas, apakah Sofyan Basir akan senasib dengan Eni? Belum ada yang bisa memastikannya. Bagaimana sesungguhnya duduk perkara itu sehingga KPK perlu menggeledah rumah Direktur Utama PLN?
Mulanya, KPK mengusut kasus ini sejak Juni 2018 berdasarkan laporan masyarakat. Kemudian, sekitar sebulan mengusut kasus itu, KPK lalu menjalankan operasi tangkap tangan pada Jumat (13/7). Penangkapan terhadap Eni yang juga Wakil Ketua Komisi VII DPR itu dilakukan di rumah dinas Menteri Sosial Idrus Marham.
Petugas KPK juga ikut menciduk suami dan keponakan Eni di lokasi yang berbeda. Setelah diperiksa berjam-jam, penyidik dengan yakin menetapkan Eni bersama pengusaha Johannes Budisutrisno Kotjo (pemberi suap) sebagai tersangka.
Bukti yang dimiliki KPK saat ini adalah penyerahan sejumlah uang dari sekretaris Johannes bernama Audrey Ratna Justianty kepada staf sekaligus keponakan Eni yang bernama Tahta Maharaya. Nilai uang yang diterima Eni Rp 500 juta. Penyerahan uang itu dilakukan di ruang kerja Audrey di kawasan Jakarta Selatan.
Setelah penyerahan itu, penyidik KPK menangkap Tahta di parkiran Gedung BIP, Jakarta Selatan. Juga menyita uang Rp 500 juta itu. Setelahnya, penyidik juga mengangkut Audrey. Dalam serah terima uang itu, petugas mendapati dokumen tanda terima dari Audrey ke Tahta.
Tidak hanya Audrey, penyidik bergerak cepat menangkap Johannes di gedung yang sama. Bahkan pegawai dan sopirnya juga ikut diciduk KPK. Dalam waktu bersamaan, tim lainnya bergerak ke rumah dinas Idrus Marham untuk menjemput Eni. Pada hari selanjutnya, penyidik KPK juga menangkap staf Eni di Bandara Soekarno-Hatta.
Uang dalam jumlah Rp 500 juta itu diduga penerimaan keempat dari total Rp 4,8 miliar. Dan masih dugaan pula uang itu sebagai bentuk komisi 2,5% dari nilai proyek pembangunan PLTU Riau-1. Kali pertama Eni menerima komitmen fee itu pada Desember 2017 senilai Rp 2 miliar. Lalu berlanjut pada Maret 2018 senilai Rp 2 miliar, Juni 2018 Rp 300 juta dan terakhir Rp 500 Juta pada Juli 2018.
PLTU Riau 1 adalah proyek produsen listrik swasta (IPP) konsorsium Blackgold Natural Resources, PT Pembangkitan Jawa Bali, PT PLN Batu Bara, dan China Huadian Engineering Co., Ltd. (CHEC).
PLN baru saja meneken Letter of Intent (LoI) dengan konsorsium untuk komitmen perjanjian jual beli listrik (Power Purchase Agreement/PPA) dari konsorsium tersebut pada Januari lalu. Namun, hingga saat ini belum ada perkembangan dari LoI yang terakhir diteken itu. [KRG]