Koran Sulindo – Meski aksi protes dan demonstrasi di banyak kota Iran mengejutkan dunia dan menodai citra penguasa, harapan bahwa protes bakal berujung revolusi atau pemberontakan rakyat tak bakalan terjadi.
Selain Teheran tak pernah menoleransinya, lagi pula ini adalah demonstrasi ekonomi.
Pemrotes mencerminkan frustasi mendalam akibat stagnasi ekonomi, salah urus dan korupsi, sekaligus meningkatnya ketimpangan pendapatan seiring dengan konsentrasi kekayaan yang mencolok.
Secara geografis protes tersebar meluas di kota-kota kecil yang kasat mata merupakan basis politik lawan-lawan Hassan Rouhani. Protes sejauh ini tidak melibatkan orang-orang urban sekuler yang di masa lalu menuntut perubahan sosial, budaya, kebebasan berekspresi, dan partisipasi politik.
Ini jelas merupakan kabar baik bagi Republik Islam Iran.
Sejauh ini ancaman paling serius terhadap sistem justru terjadi ketika Teheran bangkit dalam demonstrasi Juni 2009 untuk memprotes hasil pemilihan presiden tahun.
Kala itu, kerumunan siswa dan masyarakat urban kosmopolitan membentuk kerumunan besar yang secara langsung menghadirkan ancaman melumpuhkan ibu kota sekaligus mengganggu stabilitas penguasa.
Faktor terpenting lain dari demonstrasi yang baru-baru ini terjadi dan mengapa mereka tak menyerupai model protes melawan tiran yang dicontohkan Trump dan tweet-nya adalah demonstrasi ini tidak ‘menyalak’. Pembangkangan tak terdengar di perkotaan dan enggan bergabung dengan seruan populis untuk keadilan ekonomi. Mengapa?
Ada beberapa penjelasan tentang ini. Pertama, mereka orang-orang urban ini seperti dinyatakan ekonom Djavad Salehi-Isfahani, adalah penerima manfaat utama kebijakan liberalisasi ekonomi Presiden Hassan Rouhani, isu moderasi dan kesepakatan nuklir bagi mereka akan mengakhiri isolasi internasional Iran sekaligsu menghasilkan keuntungan ekonomi.
Mereka percaya pendekatan ini bakal memperbaiki iklim politik di dalam negeri.
Mereka juga melihat ide perubahan yang diusung Rouhani berada di jalur yang benar. Mereka justru khawatir demonstrasi lebih lanjut memicu kekacauan, atau justru mencondongkan politik Iran mendukung musuh mereka demagog populis seperti mantan Presiden Mahmoud Ahmadinejad.
Mengecualikan dukungan kaum urban di Teheran, demonstrasi tak akan pernah benar-benar menimbulkan ancaman eksistensial terhadap Republik Islam. Tidak ada rezim yang benar-benar terancam kecuali mereka kehilangan kendali atas daerah perkotaannya, dan yang paling penting di antaranya adalah ibu kota.
Sampai kelas menengah perkotaan dan orang miskin bergabung dalam protes yang sama, seperti yang terjadi pada tahun 1979, tak akan pernah ada revolusi di Iran. Dalam kalkulasi rezim, lebih utama menjaga Teheran dan pusat-pusat kota besar lain untuk tetap ‘bahagia’ dibanding menghabiskan energi untuk mengurus kota-kota kecil di seantero Iran.
Tentu bukan kebetulan jika pernyataan publik pertama rezim mengenai demonstrasi seperti yang disampaikan Panglima Garda Revolusi menuduh para pemrotes terafiliasi kepada Ahmadinejad.
Selain itu, bagaimanapun Rouhani memenangkan pemilihan presiden dua kali yakni pada tahun 2012 dan 2015 karena popularitasnya yang tak tertandingi di kelas menengah perkotaan.
Meski protes itu jelas menunjukkan bahwa ia tak populer di mata orang miskin, namun kelas menengah di Teheran tidak memiliki tingkat ketidakpuasan yang sama. Jika stabilitas bergantung pada Teheran, maka demonstrasi justru hanya memperkuat posisi politik Rouhani di masa depan.
Hal ini sejak semula sangat disadari Rouhani yang di bawah pemerintahannya, ia mengumumkan pemangkasan subsidi sementara di sisi lain menaikkan harga bahan bakar. Ia juga mengaku gagal mengatasi korupsi dan mewujudkan janji-janji keuntungan ekonomi menyusul kesepakatan nuklir.
Rouhani berharap transparansi akan menunjukkan bahwa tangannya terikat yang membuatnya tak bebas mengalihkan anggaran militer dan lembaga keagamaan kepada program-program sipil. Ini yang luput dilihat para pemrotes yang marah.
Tarulhah meskipun Rouhani berhasil mengamankan meluasnya demonstrasi, ia harus mengkhawatirkan bagaimana demonstrasi dapat mempengaruhi pemilihan parlemen dan presiden yang akan datang.
Tentu saja, asal demonstrasi dari di kota suci Mashad, sebuah basis konservatif sekaligus kampung halaman Tertinggi Ayatollah Khamenei itu dimaknai sebagai ‘pemanasan’ kampanye mereka untuk memenangkan kembali pemilihan presiden.
Demonstrasi menjadi bumerang ketika dengan cepat meningkat dalam intensitas, dan berbalik melawan pendirian politik secara keseluruhan.
Demonstrasi mungkin akan terus berlangsung, namun Republik Islam jelas akan bertindak mengatasi keluhan ekonomi yang dihadapi mereka di kota-kota kecil itu. Kegagalan membereskan masalah itu berisiko membuka ‘jurang’ di kelompok konservatif. Kekhawatiran lebih besar harus diwaspadi jika demonstrasi berulang sekaligus memicu keterlibatan kelas menengah perkotaan.
Di Iran, tak seorang pun ingin kembali kepada ide-ide populisme era Ahmadinejad yang justru mengisolasi Iran, melemahkan ekonominya, dan mengasingkan kelas menengah kota.[TGU]