Koran Sulindo – Tujuh tahun perang saudara di Suriah yang saat ini masih berkecamuk dimulai ketika sejumlah anak muda di Daraa menggelar protes kepada pemerintah. Protes itu dipicu penangkapan remaja berusia 15 yang mencoret dinding sekolahnya dengan kecaman pada rezim Bashar al Assad 6 Maret 2011.
Seminggu berselang keluarga dan teman-teman si remaja berbaris di jalanan menuntut pembebasannya. Sejak saat itu Daraa dibanjiri gelombang protes yang berpuncak menjadi protes berdarah tanggal 20 Maret yang menewaskan sedikitnya 7 polisi dan 4 pemrotes.
Insiden itu segera memicu aksi kekerasan yang berujung pada pembakaran kantor partai Ba’ath dan properti-properti milik pemerintah. Segera setelah Daraa ‘terbakar’ aksi kekerasan meluas ke seluruh Suriah. Aksi protes berubah dengan cepat menjadi perlawanan dan pemberontakan bersenjata. Perang saudara bahkan masih berkecamuk hingga saat ini.
Tak sepenuhnya persis, latar belakang serupa sekarang sedang berkembang di Masyhad, Iran. Di kota itu sejumlah besar anak muda, umumnya miskin dan pengangguran turun ke jalan mengeluhkan kemiskinan mereka, rezim yang korup dan mampetnya kebebasan mereka.
Washington Post menyebut protes dimulai pada 28 Desember, yang dipicu oleh ekonomi Iran yang lesu dan kenaikan harga pangan, tujuan protes segera berubah seiring hari-hari berikutnya menjadi seruan untuk penggulingan pemerintah teokratis Iran.
Protes itu segera ditindak tegas. Sama-sama mengklaim ‘kebenaran’ pemerintah mengirim aparat bersenjata termasuk Garda Revolusi. Hasilnya, 21 orang termasuk di antaranya anggota keamanan tewas setelah aksi tembak menembak sengit.
Meski berbeda, peristiwa di Daraa tujuh tahun lalu dan Masyhad memiliki banyak kemiripan. Massa yang miskin pedesaan miskin mulai berdemonstrasi melawan Assad, kemudian melawan korupsi dan kemudian dengan cepat menuntut penggulingannya. Di Iran pemrotes membakar poster-poster Pemimpin Tertinggi Ali Khamenei dan Presiden Iran Hassan Rouhani.
Namun jangan dilupakan, Masyhad adalah basis kekuatan bekas-bekas ‘musuh’ Rouhani dalam pemilihan presiden lalu. Salah satu dari mereka memimpin sholat Jumat setempat dan secara terbuka bersimpati dengan para pemrotes. Selain itu berbeda dengan pandangan Barat, protes adalah tindakan legal yang umum dilakukan masyarakat.
Skenario yang sama
Ketika para penentang Damaskus mulai menyerang perbatasan Suriah di Homs dan Daraa, Assad segera mengklaim bahwa ‘tangan asing’ sedang bekerja di belakang ‘teroris’. Assad dan Suriah tujuh bertahan dengan gigih.
Jauh sebelum perang saudara meledak di Suriah, tahun 2006 Israel yang didukung Barat menggelar inisiatif menggempur Lebanon untuk melumat Hizbullah yang menjadi sekutu dekat Damaskus. Serangan itu gagal total dan Israel benar-benar dipermalukan para pejuang Hizbullah.
Kalah di Lebanon, lima tahun berikutnya perang sengit bergeser ke Suriah, lagi-lagi Israel, Barat dan para pendukungnya kalah. Assad tetap bertahan dengan bantuan orang-orang Rusia, dan tentu saja Iran dan Hizbullah.
Benarkah sekarang giliran Iran yang diobok-obok? Taktik yang sama, skenario yang sama dan bahkan musuh yang sama sementara Arab Saudi jelas menyaksikannya dengan gembira.
Seperti Assad, Teheran juga segera menuding gelombang protes itu meski berakar dan dimulai dari masalah ekonomi masyarakat namun diarahkan oleh aktor asing yang memusuhinya seperti Saudi, Israel dan AS.
Sejauh ini meski tak ada bukti yang ditunjukkan pemerintah untuk mendukung tuduhannya, namun karena mengingat catatan masa lalu negara-negara itu Teheran mengaku tak memiliki keraguan bahwa kejadian ini terjadi karena plot mereka. Tuduhan itu juga langsung dibantah Washington.
Seorang pejabat senior di Pemerintahan Doland Trump hari Rabu lalu membantah anggapan bahwa AS terlibat memainkan peran memicu kerusuhan di Iran. Mereka bahkan mengaku tidak memperkirakan hal itu bakal terjadi. Seperti dilaporkan Washington Post pejabat itu mengatakan, “protes sepenuhnya dihasilkan secara spontan.” Sementara itu Trump dalam tweet-nya segera menulis dukungan kepada keberanian para pemrotes.
Laporan bias
Sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang terjadi di Iran selain hanya meraba-raba ‘gambar’ besarnya saja. Tantangan utama bagi para jurnalis, bahkan jurnalis barat sekalipun adalah kegagalan mereka mengkonfirmasi kejadian di lapangan. Hanya segelintir orang saja yang saat bisa dipercaya melaporkan peristiwa itu secara berimbang.
Dengan kecepatan peristiwa berlangsung dan kepentingan para pihak bakal sangat sulit membangun validitas laporan jurnalistik. Ada begitu banyak gambar palsu, berita palsu hingga peristiwa-peristiwa yang direkayasa untuk keperluan kehumasan yang canggih. Koresponden independen Patrick Cockburn yang selama beberapa dekade terakhir menulis tentang Timur Tengah melihat pola serupa dalam model pelaporan di Arab Spring dan pergolakan di Iran baru-baru ini.
“Sesuatu yang sangat mendasar yang terjadi di Suriah dan sekarang Iran, adalah bahwa orang tidak benar-benar tahu apa yang sedang terjadi. Jumlah pelaporan saksi mata sangat terbatas dan Anda dapat melihat bahwa saat ini di Iran,” kata Cockburn seperti ditulis Press Gazette.
Menurutnya, hanya sedikit media barat memiliki koresponden di Iran seperti The New York Times dengan Thomas Erdbrink. Sebagian besar media justru berbicara tentang Iran tanpa memiliki sumber di negara itu.
“Mereka sering berada jauh di Istanbul atau Dubai, atau bahkan London dan Washington, dan itu sangat penting. Kami melihat bahwa di Libya, Irak dan Suriah. Tanpa komentator dan reporter di sana mereka bergantung pada sumber-sumber yang sering-partisan,” kata Cockburn.
Dia menambahkan bahkan meskipun menempatkan koresponden di Teheran, dengan sebagian besar peristiwa tersebar di seluruh Iran, koresponden akhirnya juga tergantung pada sumber-sumber dari daerah tersebut. Model itu menurut Cockburn mudah dimanipulasi. Dia mencontohkan pada aksi besar protes tahun 2009 dan 2011 silam. Meski di Youtube rekaman kerusuhan dan demonstrasi yang terus beredar di Teheran utara, ia mengaku kesulitan untuk menemukannya di lapangan.
Berita bohong
Ketika tahun 2011 ia berbicara dengan wartawan Iran apakah kesulitannya itu membuat mereka frustasi, Cockburn terkejut dengan jawabann. Mereka menyebut para editor media Barat terkadang mempercayai video yang mereka lihat di media sosial dan justru mengabaikan laporan koresponden di lapangan.
Kepada Cockburn, wartawan mengaku “tidak ada bedanya karena editor itu dipengaruhi oleh video Youtube yang kerap datang dari kelompok partisan. Jika kita mengatakan tidak banyak yang terjadi di lapangan, mereka mengira kita telah diintimidasi atau ditangkap pihak berwenang.”
“Organisasi oposisi biasanya memiliki operasi PR yang canggih dan seringkali didanai organisasi atau pemerintah luar atau sekelompok pengasingan yang sering berpura-pura menjadi menjadi pemimpin sebuah pemberontakan yang sebenarnya tidak banyak kaitannya dengan mereka,” kata Cockburn.
Ia juga mencontohkan tahun 2011 ketika Arab Spring menggulingkan Gaddafi di Libya, di Benghazi pemberontak memiliki seorang wanita yang sangat canggih sebagai juru bicara mereka. Wanita itu mengatakan “jika Gaddafi digulingkan dia akan digantikan oleh kalangan moderat.” Tapi nyatanya wanita ini sama sekali tidak representatif seperti bisa kita lihat di Libya sejak saat itu.
Cockburn menyebut ada ‘romantisasi’ demonstrasi selama Arab Spring yang membuat pemerintah Barat menerima tekanan publik untuk ikut campur tangan melibatkan diri. Menurutnya wartawan barat sering menyamakan protes atau pemberontakan di jalanan sebagai model revisited Revolusi Prancis. Dan itu benar-benar terjadi di Suriah, Libya dan Mesir.
“Tidak mudah bagi wartawan di lapangan, jika ada beberapa cerita menarik yang telah Anda impikan, Anda mungkin tidak bisa membuktikan bahwa itu bukan sebuah rekayasa. Editor berita Anda tidak akan terkesan,” kata Cockburn.
Contoh paling tepat bagi cerita kembali di Libya ketika seorang wanita mengklaim Gaddafi memerintahkan tentaranya untuk memperkosa perempuan di wilayah-wilayah oposisi. Wanita Libya itu mendekati media tersebut mengaku telah mensurvei ribuan wanita dan menemukan lebih dari 200 laporan pemerkosaan.
Media-media barat seperti CNN dan outlet berita lainnya segera menyambar berita itu dan mewawancarai si wanita tersebut. Namun, ketika Human Rights Watch, Amnesty International dan PBB menyelidiki klaim itu mereka sama sekali tidak menemukan bukti untuk mendukung kisah tersebut. Cerita itu benar-benar rekayasa.
Cockburn menyebut meski berita palsu dan propaganda seputar pelaporan perang dan protes bukanlah hal yang baru. Namun dengan maraknya penggunaan media sosial skala disinformasi jelas sangat jauh berbeda. [TGU]