Nama Sajogyo identik dengan isu pedesaan serta pengukuran garis kemiskinan di Indonesia. Siapa saja yang belajar ilmu ekonomi dan sosial, pasti fasih menjelaskan apa itu garis kemiskinan, kemiskinan relatif, kemiskinan absolut, indeks ukur kemiskinan, elastisitas kemiskinan, dan berbagai ukuran distribusi. Sajogyo memberikan kontribusi besar dalam menjelaskan konsep-konsep itu. Ia juga menguji serta menerapkannya langsung dalam studi-studi di lapangan. Tulisan-tulisannya berkontribusi besar kepada perkembangan ilmu sosial maupun perumusan kebijakan di Indonesia.
Prof. Dr. Ir. Sajogyo dikenal sebagai “Bapak Sosiologi Pedesaan Indonesia” (Mubyarto, 1996). Penyematan “gelar sosial” tersebut tidak berlebihan mengingat kontribusi aktif Sajogyo dalam mencurahkan gagasan, pemikiran dan tenaganya untuk pembangunan pertanian dan pedesaan di Indonesia.
Lahir atas nama Sri Kusumo Kamto Utomo di Kebumen, Jawa Tengah pada 21 Mei 1926, dari pasangan guru Soewardjo Poerwoatmodjo dan Chamidah. Ia menghabiskan masa kecilnya dengan berpindah-pindah kota sebelum menjadi mahasiswa pertanian di Fakultas Pertanian Universitas Indonesia di Bogor (yang kemudian menjadi Institut Pertanian Bogor), tempat ia memperoleh gelar Insinyur pertaniannya pada 1955. Kemudian ia mendapatkan gelar Doktor pada tahun 1957 di bawah bimbingan Professor W.F. Wertheim, guru besar tamu dari Belanda. Ia juga pernah mengikuti program pascadoktoral di Universitas Chicago tahun 1961-1962. Tahun 1963, Sajogyo dikukuhkan sebagai Guru Besar Fakultas Pertanian IPB.
Garis Kemiskinan Sajogyo
Nama Sajogyo seolah menjadi sebuah solusi bagi kebuntuan metodologis, ketika angka-angka pengeluaran nominal rumah tangga ternyata bukanlah indikator yang baik atas standar hidup relatif. Menurut dia, garis kemiskinan yang relevan untuk negara berkembang seperti Indonesia adalah yang langsung merefleksikan kebutuhan hidup terpenting, dalam hal ini kecukupan pangan. Kecukupan pangan ini pada gilirannya dapat terwakili oleh beras. Dengan ukuran penghasilan senilai harga beras untuk konsumsi minimal yang layak, Sajogyo menawarkan garis kemiskinan yang lebih relevan dan realistik.
Konsumsi minimal itu ia dapatkan sebagai terjemahan kebutuhan kalori yang layak (saat ini sekitar 2100 kalori). Logikanya sederhana, namun tuntas dan masuk akal. Porsi pengeluaran terbesar dan terpenting kaum papa adalah pada makanan. Makanan pokok Indonesia adalah beras, dan ada jumlah batas konsumsinya yang menjamin ketersediaan kalori untuk tetap bertahan hidup layak. Terakhir, terdapat perbedaan harga antar-daerah dan antar-jenis beras di Indonesia. Bagaimana merefleksikan semua karakteristik ini dalam merepresentasikan statistik kemiskinan di Indonesia dengan cara yang bisa bermanfaat bagi pengambilan kebijakan adalah pertanyaan yang digeluti Sajogyo. Dari sini, lahirlah “Garis Kemiskinan Sajogyo”.
Tentulah Garis Kemiskinan Sajogyo bukan tanpa kekurangan. Pertama, ada kebutuhan pokok lain di luar beras. Juga, ada masyarakat yang belum tentu bergantung kepada beras sebagai makanan pokok. Kritik ini bukanlah fatal. Ia dengan mudah bisa diakomodasi dalam kerangka berpikir à la Sajogyo: ubah unit kebutuhan pokok lainnya ke dalam ekivalensi kalori beras, termasuk jika jagung atau ubi-ubian mengganti peran beras dalam rumah tangga masyarakat.
Sajogyo adalah sosiolog pedesaan dengan semangat aktivis yang tidak tinggal diam. Ia sangat peduli pada nasib petani dan unsur masyarakat lain di pedesaan. Tapi ia juga sangat menguatirkan perusakan alam dan lingkungan oleh manusia. Ia tidak kaku pada hanya satu disiplin ilmu; sebaliknya terus mencari tanpa pernah mangklaim kebenaran sendiri. Sebaliknya, ia juga tidak pernah menerima formulasi peneliti atau orang lain tanpa reservasi. Ia menemukan kelemahan pada ukuran kemiskinan konvensional, maka ia perbaiki. Terakhir, ia juga mengaplikasikan sekaligus mengritik indeks mutu hidup.
Di balik statistik kemiskinan serta alat analisis ekonomi pedesaan, pemikiran Sajogyo adalah fondasi yang bermanfaat. Ia adalah ilmu yang sederhana. Namun tuntas dan masuk akal. Lebih dari 30 tahun yang lalu Sajogyo telah memberitahukan kita: kemiskinan bukanlah sekadar angka. Ia adalah realita. Sebuah kenyataan yang membutuhkan alat analisis yang juga realistis.
Sumbangsih Sajogyo terhadap pembangunan ekonomi di Indonesia adalah pemikirannya mengenai konsep dan aplikasi garis kemiskinan. Selain itu ia juga menjadi salah seorang yang mempengaruhi keputusan pemerintah menjalankan kebijakan Inpres Desa Tertinggal (IDT).
Karya tulis dan penghargaan Sajogyo
Disertasi doktoral Sajogyo telah diterbitkan sebagai buku dengan judul Masyarakat Transmigrasi Spontan di Daerah Way Sekampung, Lampung (Gadjah Mada University Press, 1975). Bukunya yang lain mencakup Usaha Perbaikan Gizi Keluarga (IPB Bogor, 1974), Kumpulan Bacaan Sosiologi Pedesaan I & II (Gadjah Mada University Press, 1982), Bunga Rampai Perekonomian Desa (Yayasan Obor Indonesia, 1982), dan Ekologi Pedesaan (Yayasan Obor Indonesia, 1983). Sajogyo juga kerap menulis di media seperti Kompas, Tempo, Sinar Harapan, dan Prisma.
Sajogyo pernah menjadi Ketua Badan Kerja di bawah Menteri Pertanian RI untuk Proyek Survey Agro Ekonomi (SAE) tahun 1965-1972. Ia juga terlibat dalam studi atas perubahan struktur agraria yang disponsori FAO tahun 1972-1973 dan studi evaluasi Program Usaha Perbaikan Gizi Keluarga dengan sponsor UNICEF tahun 1975. Sajogyo mengajar di Program S1 dan Program Studi Pasca Sarjana (S2/S3) Sosiologi Pedesaan IPB tahun 1975-1998. Pada tahun 1965-1966 Sajogyo menjabat sebagai Rektor IPB.
Sajogyo aktif dalam berbagai organisasi keilmuan dan kemasyarakatan seperti Yayasan Agro Ekonomika, Yayasan Ilmu-Ilmu Sosial, Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia dan Perhimpunan Peminat Gizi dan Pangan. Ia juga pernah menjadi salah satu ketua dalam Dewan Riset Nasional.
Berkat konsistensi dan keteladanan dalam gagasan dan praktik, Sajogyo memperoleh beberapa penghargaan seperti penghargaan pada Hari Ulang Tahun ke-43 Harian Kompas (2008), Achmad Bakrie Award (2009), Habibie Award dan penghargaan dari IPB/HA-IPB.
Namanya diabadikan dalam sebuah lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang penelitian, dokumentasi, pendidikan, pelatihan, dan advokasi kebijakan untuk mencapai cita-cita keadilan agraria, kemandirian desa-desa, serta persamaan hak perempuan dan laki-laki dalam pemanfaatan tanah dan sumberdaya alam, Sajogyo Institute.
Yayasan ini didirikan atas inisiatif para murid dan kolega Sajogyo sebagai penghormatan akan dedikasi beliau, sebagai peletak dasar ilmu Sosiologi Pedesaan Indonesia. Yayasan ini menerima wakaf berupa tanah di Jl. Malabar 22, Bogor, dengan keseluruhan bangunan rumah beserta isinya dari Sajogyo. Profesor Dr. Ir. Sajogyo, meninggal dunia pada Sabtu, 17 Maret 2012 di Rumah Sakit PMI, Bogor, Jawa Barat. [KS]