Pro dan Kontra Ambang Batas Pencalonan Presiden

Koran Sulindo – Fraksi PDI Perjuangan, Golkar, dan Nasdem di DPR tetap menginginkan ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold berada di angka 20%. Namun, mayoritas fraksi menginginkan ambang batas pencalonan presiden dihapus atau 0%. “Gerindra sendiri dukung nol persen, tetap nol persen, dengan alasan itu sesuai konstitusi. Kalau tidak nol persen, itu melanggar konstitusi,” ungkap Wakil Ketua Panitia Khusus Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu (RUU Pemilu) Ahmad Riza Patria, Jumat (2/6).

Ditiadakannya ambang batas pencalonan presiden, tambahnya, merupakan bentuk penguatan partai politik. Karena, itu artinya memberi kesempatan partai politik untuk mengajukan calon masing-masing.  Jika presidential threshold dipaksakan 20%, itu menyalahi konstitusi. Karena dasar penggunaan angka tersebut telah dipakai pada Pilpres 2014. “Sejauh ini yang tidak dukung presidential threshold nol persen adalah PDIP, Golkar, dan Nasdem. Cuma itu saja,” kata Riza.

Ia yakin peluang presidential threshold 20% kecil untuk disepakati, meski pemerintah juga masih menginginkan seperti itu. “Pemerintah enggak boleh keras dan enggak boleh menang sendiri. Banyak pengamat juga mendorong nol persen,” tutur Riza.

Menurut dia, presidential threshold 20% merupakan bagian dari arogansi sejumlah partai yang tidak memberi kesempatan kepada partai lain. Kendati begitu, ungkap Riza, pansus hingga sekarang belum menyentuh soal pembahasan presidential threshold. Pansus fokus menyepakati 14 isu krusial, antara lain penambahan kursi anggota dewan, verifikasi partai politik, syarat pemilih, keterwakilan perempuan, dan status KPU-Bawaslu.

Sebelumnya, pada 5 Mei 2017 lalu, Wakil Ketua Fraksi ‎PDI Perjuangan Arif Wibowo, menyatakan, partainya berposisi sama dengan pemerintah dalam isu presidential threshold, yakni pasangan capres-cawapres bisa diajukan parpol/gabungan parpol dengan raihan minimal 20% jumlah kursi DPR atau minimal 25% jumlah raihan suara pemilu nasional. Basis jumlah kursi DPR dan jumlah raihan suara pemilu adalah hasil Pemilu 2014 lalu. “Kenapa? Karena kita ingin bangun presidensialisme kuat dan efektif. Maka, sejak awal, capres memperoleh dukungan kuat dari koalisi partai dan tidak dengan transaksional,” ujar Arif Wibowo.

Arif menjelaskan, tak ada masalah bila hasil Pemilu 2014 kembali digunakan untuk menjadi dasar untuk menentukan angka presidential threshold pemilu serentak 2019. Itu tak melanggar aturan apa pun, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengamanatkan open legal policy. “Putusan MK hanya menekankan soal pemilu serentak. Putusan MK yang lama dan baru menekankan open legal policy, termasuk soal threshold,” katanya.

Dengan adanya threshold, tambahnya, tak ada saling sandera antara capres-cawapres dan parpol pengusung. Karena, di mekanisme sebelumnya, parpol masih bisa menekan pasangan capres-cawapres untuk bertransaksi soal jumlah kursi kabinet. Umpamanya PDI Perjuangan, karena menjadi pemenang pemilu, bisa menekan Joko Widodo sebagai capresnya untuk secara proporsional memberi jatah kursi kabinet sesuai persentase raihan kursi DPR.

Namun, dengan pemilu serentak dan batasan presidential threshold, tak akan bisa lagi seperti itu. Karena, seorang capres akan bisa bilang ke parpol pendukung bahwa jumlah raihan kursi di Pileg 2014 tak bisa menjadi basis transaksi karena merupakan hasil pemilu sebelumnya. “Jadi kalau Jokowi, misalnya, nanti dicapreskan dari PDI Perjuangan, dia tak akan bisa tertekan. Karena, belum tentu parpol yang sama di 2014 bisa menang lagi. Kok minta jatah sekian menteri? Ya, tak bisa,” ungkap Arif Wibowo.Lebih lanjut Arif menjelaskan, kalau 2014, hasil pileg lebih dulu keluar, sudah keliatan hasilnya dikoversi menjadi sekian kursi parlemen, dikonversi lagi menjadi kursi kabinet. “Kalau yang ini nanti, parpol tak bisa menekan presiden sejak awal. Karena, hasil 2019 belum tahu. Jadi, presiden bisa bilang, ‘Kamu tak bisa dikte saya berapa kursi kabinet.’ Artinya, sejak awal, transaksional itu sudah diputus,” kata Arif.

Parpol-parpol, lanjutnya, memang tak bisa bertransaksi dengan calon yang diusung dengan sikap pemerintah dan PDI Perjuangan itu. Maka secara otomatis parpol dan capres akan didorong ke sebuah titik temu baru. “Titik temu itu adalah kesamaan visi dan idoelogi, bukan transaksi jabatan di kabinet,” ujarnya.

Jika presidential threshold 0%, kata Arif lagi, bagi-bagi kursi itu sulit dihindari. “Kalau nol persen, transaksi akan berulang-ulang. Karena, semua parpol bisa mencalonkan. Kalau seorang capres merasa tak dapat dukungan yang mayoritas, dia akan cari dukungan mayoritas itu, dia akan beli dukungan.Begitu menang, dia akan jual-beli lagi supaya dapat dukungan di parlemen. Inilah masalahnya,” ungkap Arif. Dengan presidential threshold tidak 0%, tambahnya, PDI Perjuangan berusaha memastikan setiap capres-cawapres sejak awal mendapat dukungan permanen dan kuat dalam pilpres.

Apakah syarat presidential threshold itu inkonsttitusional? “Kalau disebut bahwa hak warga negara tak boleh dibatasi untuk maju sebagai capres, itu tak sepenuhnya benar. Harus dipahami, Pasal 28 ayat J UUD 1945 mengamanatkan, kebebasan itu perlu diatur, termasuk kebebasan politik. Jadi, bukan bebas sebebas-bebasnya, melainkan kebebasan yang diatur undang-undang. Kalau tidak diatur, tujuan bikin pemerintahan kuat dan efektif tak akan tercapai,” kata Arif. Jadi, lanjutnya, PDI Perjuangan yakin seyakin-yakinnya itu tak melanggar UUD 1945. “Belajar dulu original intent konstitusi. Spirit konstiusi kita kan sebenarnya hindarkan diri dari liberalisme dan komunisme. Ada kebebasan, tapi teratur.”

‎Dengan bengitu, Arif menjelaskan lagi, PDI Perjuangan juga menolak bila parpol baru boleh mengusung capres-cawapres di Pemilu 2019. Apalagi, parpol baru itu belum teruji mampu bertarung‎ di pemilu legislatif. “Sangat aneh bila mereka sudah langsung boleh mengusung capres-cawapres. Jadi, sikap soal presidential threshold ini juga demi menghadapi parpol medioker, yang hanya dibentuk untuk tunggangan politik. Hal demikian tak sehat bagi demokrasi kita,” katanya. [PUR]