Koran Sulindo- Priyayi adalah kelompok elit dalam struktur sosial masyarakat Jawa yang memiliki peran signifikan dalam sejarah dan budaya Indonesia, khususnya selama era kolonial.
Dikutip dari esi.kemdikbud.go.id, secara harfiah, istilah “priyayi” berasal dari kata “yayi,” yang berarti “adik raja.” Priyayi merujuk pada individu yang menempati posisi di atas rakyat jelata, mereka yang memimpin, memberi pengaruh, mengatur, dan menuntun masyarakat.
Selain itu, priyayi juga diidentifikasi sebagai bangsawan feodal dan pewaris budaya keraton Yogyakarta dan Surakarta. Namun, tidak semua pejabat pemerintah bisa dianggap sebagai priyayi, meskipun mereka menduduki posisi administratif dalam pemerintahan kolonial.
Beberapa sarjana lebih melihat priyayi sebagai birokrat yang memiliki peran penting dalam sistem pemerintahan kolonial, meski asal-usul keturunan mereka tidak selalu bangsawan.
Dalam struktur pemerintahan Hindia Belanda, priyayi merujuk pada pejabat administratif tertentu yang diberi hak oleh pemerintah kolonial untuk menggunakan gelar kehormatan seperti Raden atau Raden Mas.
Kelompok ini memonopoli posisi pemerintahan dan menjadi ciri utama dari gaya pemerintahan tidak langsung yang diterapkan oleh pemerintah kolonial. Pelembagaan pendidikan Barat menjadi elemen penting dalam pembentukan kelompok priyayi, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pendidikan Barat memberikan keterampilan yang diperlukan untuk menjalankan administrasi, seperti menulis surat, membuat laporan, berkomunikasi dalam bahasa asing, dan memahami adat istiadat Barat.
Priyayi sebagai pewaris budaya Jawa dan sebagai birokrat pemerintahan kolonial memperlihatkan gaya hidup yang mencerminkan kesetiaan mereka di ruang publik. Gaya hidup ini melibatkan berbagai prosedur, adat istiadat, struktur perilaku, simbol, dan sikap hidup yang mempengaruhi kehidupan sehari-hari.
Gaya hidup mereka juga mempertahankan prestise dan kekuatan sosial yang diperlukan untuk menjaga posisi politik dan ekonomi. Faktor status, kekuasaan, dan kekayaan sangat mempengaruhi model gaya hidup yang mereka ciptakan dan pertahankan.
Gaya hidup priyayi dianggap sebagai subkultur dari tradisi kejawen, sebuah tradisi Jawa agung yang didukung oleh kelompok masyarakat tertentu.
Politik kolonial yang bertujuan memodernisasi sistem pemerintahan dan mengembangkan kekuasaan tradisional yang lebih feodal membuat posisi dan peran bupati penuh ambivalensi.
Di satu sisi, bupati harus menaati peraturan pemerintah kolonial yang berusaha menegakkan birokrasi dengan otoritas legal-rasional, tetapi di sisi lain, mereka tetap mempertahankan otoritas tradisional yang sering kali menyebabkan konflik dengan pemerintah kolonial Belanda.
Contoh terkenal adalah konflik antara E. Douwes Dekker (Multatuli) dengan K.R.T. Karta Negara, Bupati Lebak.
Nilai-nilai tradisional menempatkan priyayi sebagai otoritas dengan segala kekuasaan dan haknya, meskipun mereka juga dituntut untuk menjalankan fungsi birokrasi kolonial yang rasional-legal.
Konflik yang muncul dari tuntutan-tuntutan ini sering menjadi sumber korupsi. Priyayi diharapkan untuk menunjukkan martabat yang tinggi, baik dalam hal perilaku maupun materi, seperti membantu kerabat dan menunjukkan gaya hidup yang mencerminkan status tinggi mereka.
Struktur ini menempatkan priyayi dalam situasi paradoks, di mana mereka harus menunjukkan kesetiaan kepada atasan, namun juga mempertahankan kewibawaan dan “kebesaran” kepada bawahan. Hal ini menciptakan etos feodalistik yang kuat dan membentuk kehidupan sehari-hari priyayi dengan pola otoritarianisme yang kental. [UN]