Koran Sulindo – Bisnis properti di Indonesia sejak beberapa tahun terakhir masih dalam situasi lesu. Beberapa indikator perbaikan nyatanya belum juga bisa menjadi booster untuk percepatan bisnis ini, tak seperti pada era pertumbuhan periode awal tahun 2010. Beberapa kali kontestasi politik dengan pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah belum juga bisa mengangkat sektor ini.
Dalam pandangan Ketua Umum Dewan Pengurus Pusat (DPP) Persatuan Real Estat Indonesia (REI) Soelaeman Soemawinata, kelesuan bisnis properti beberapa tahun belakangan ini lebih karena hambatan psikologis, seperti perubahan kebijakan pemerintah di bidang pajak, dan situasi perekonomian global yang dampaknya sangat cepat merasuk ke negara kita.
“Secara umum, pemerintah kita sudah cukup responsif dengan segala regulasinya untuk membuat bisnis properti kembali bergairah. Tapi, faktornya sudah begitu kompleks dan terlebih kendala psikologis tadi, yang membuat dunia usaha mengerem investasinya dan masyarakat pemilik modal juga menahan belanjanya, karena wait and see untuk keadaan menjadi lebih baik,” kata pria yang akrab disapa Eman itu.
Sekarang ini, bisnis properti bisa dibilang ditopang karena kebutuhan pengguna (end user). Itu sebabnya, program pembangunan sejuta rumah yang dicanangkan pemerintah sejak April 2015 lalu telah menjadi penopang bisnis selama ini. Begitu juga dengan beberapa produk kelas menengah ke bawah, yang memang dicari beberapa kalangan end user untuk dihuni.
Eman—yang juga Komisaris PT Alfa Goldland Realty, pengembang township Alam Sutera (1.000 hektare), Serpong, Tangerang Selatan, Banten—mengungkapkan data penjualan beberapa pengembang besar selama periode 2013 hingga 2017. Ketua Umum DPP REI periode 2016-2019 ini mengatakan, rata-rata penjualan pengembang besar tersebut hanya 70% dari yang ditargetkan, dengan tren yang terus menurun. Secara rata-rata, nilai kapitalisasi pasar beberapa pengembang besar ini mencapai Rp 44 triliun.
Indikator perbaikan bukannya tidak ada. Pada akhir tahun 2017 lalu, lanjut Eman, gejala peningkatannya sudah mulai terlihat. Tapi, pengembang besar masih ragu untuk meluncurkan produk baru karena memasuki tahun politik.
“Jadi, tugas kami sekarang, bagaimana pengusaha dan pemerintah bisa membuat suasana psikologis yang lebih baik untuk pertumbuhan bisnis ini. Banyak isu yang membuat situasi pasar menjadi tidak nyaman, misalnya pengenaan pajak progresif untuk lahan telantar. Itu langsung berpengaruh terhadap rencana dan strategi bisnis perusahaan. Pemerintah seharusnya kompak dan mengeluarkan statement resmi yang bisa aplikatif, sehingga pelaku pasar juga menjadi lebih nyaman. Sekarang ini kan semuanya lirak-lirik melihat situasi. Inilah yang menjadi kendala dan penghambat pertumbuhan kita,” ujarnya.
Sementara itu, Ketua Umum DPP Asosiasi Pengembang Perumahan dan Pemukiman Seluruh Indonesia (Apersi) Junaidi Abdillah mengungkapkan, situasi bisnis properti saat ini benar-benar membuat segmen rumah murah menjadi primadona. Segmen ini hampir tidak terpengaruh dengan situasi ekonomi dan politik karena pasarnya riil dan sangat besar.
“Anggota Apersi umumnya pengembang rumah murah dan rumah bersubsidi, jadi tidak terpengaruh dan tetap berproduksi dengan baik. Mestinya untuk situasi saat ini pemerintah lebih fokus pada penanganan program rumah murah karena memang terbukti telah menjadi penopang sektor properti yang tengah lesu,” tutur Junaidi.
Hanya saja, bisnis properti komersial berupa produk high–rise atau produk komersial lainnya kerap menjadi pioner dan tolok ukur pasar untuk melihat perkembangan sektor ini. Karena itu, gegap gempita pengembangan properti dengan jargon “Besok Harga Naik” lebih menarik dan menjadi nilai jual. Tapi, sekarang, banyak yang merasakan dampaknya, karena ternyata kenaikannya tidak sesuai nilai pasar dan sangat sulit produk tersebut untuk dijual kembali.
Junaidi berharap, pemerintah bisa lebih fokus pada regulasi untuk pengembangan segmen menengah ke bawah. Saat ini masih cukup banyak penghambat regulasi, seperti aturan Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) yang menerapkan Peraturan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah (Perkim) Nomor 403 Tahun 2002 soal pedoman teknis pembangunan rumah sederhana sehat.
Perkim ini mengharuskan septic tank berjarak 10 meter dari sumber air, sementara luas kaveling rumah murah hanya 60 meter per segi. Belum lagi aturan besi tulangan harus dengan diameter 10 milimeter, fondasi menggunakan batu kali, dan sebagainya.
Aturan itu tidak memperhatikan local wisdom, seperti di daerah-daerah yang menggunakan material berbeda. Contohnya di Kalimantan, yang tanahnya berawa sehingga menggunakan fondasi dari kayu ulir atau di Sumatera yang fondasinya menggunakan batu bata.
“Kami paham tujuan aturan ini untuk peningkatan kualitas rumah murah. Tapi, jangan juga digeneralisasi seperti itu. Bangunan komersial saja tidak ditentukan spesifikasi materialnya seperti ini, masa rumah murah ditentukan? Ujungnya pasti akan meningkatkan harga, sementara margin pengembang juga sudah sangat tipis. Nanti, dampaknya, masyarakat juga yang akan membeli dengan harga yang lebih tinggi,” tutur Junaidi. [HAN]