Presidential Threshold: Upaya Konsolidasi Demokrasi atau Jalan Lahirkan Kediktatoran?

Koran Sulindo – Meski Mahkamah Konstitusi telah menolak permohonan uji materi terhadap pasal soal ambang batas pemilihan presiden atau presidential threshold, perdebatan di ruang publik soal tersebut belum mereda. Kendati begitu, dari sembilan hakim MK, ada dua hakim yang mengajukan dissenting opinion atau perbedaan pendapat terkait putusan tersebut, yakni Saldi Isra dan Suhartoyo.

Menurut para penggugat, keputusan MK itu mengesampingkan argumen soal rasionalitas dan relevansi ambang batas pencalonan presiden yang menggunakan basis hasil pemilihan umum sebelumnya. Padahal, berbeda dengan Pemiluhan Presiden 2014 yang digelar setelah pemilihan anggota legislatif, pemilihan presiden pada 2019 nanti digelar serentak dengan pemilihan anggota parlemen.

Diungkapkan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, MK tampak tak fokus pada argumen konstitusional yang ingin dibangun, berkaitan dengan keberadaan ambang batas pencalonan presiden. “MK sama sekali tidak menyentuh soal rasionalitas dan relevansi ambang batas pencalonan presiden terkait dengan keberadaan Pasal 6 ayat A Undang-Undang Dasar 1945, termasuk juga penggunaan suara atau kursi dari pemilu sebelumnya,” tutur Titi setelah sidang putusan yang digelar di MK, 11 Januari 2018.

Dalam pandangan Titi, MK sangat memaksakan argumennya dengan menarik isu soal penyederhanaan partai. MK pun dianggap tak mampu membangun argumen yang logis tentang mengapa ambang batas pencalonan presiden konstitusional, meski merujuk pada hasil sebelumnya. “Terutama apabila dikaitkan dengan sistem presidensial. Bagaimana mungkin kita memperkuat sistem presidensial dengan merujuk pada ambang batas dari pemilu yang terdahulu? Jadi, ini yang tidak mampu diyakinkan oleh Mahkamah Konstitusi berkaitan dengan ambang batas pencalonan presiden,” tutur Titi.

Akademisi dari Universitas Indonesia yang juga penggugat pasal tersebut, Effendi Ghazali, mengatakan, dengan langgengnya ketentuan soal presidential threshold itu, publik harus siap-siap untuk menuju calon presiden tunggal. “Bisa menuju ke sana kalau nanti jika tidak cocok koalisinya dan itu disebutkan dengan sangat bagus oleh Saldi Isra bahwa yang seperti ini bisa menuju ke dictatorship,” kata Effendi.

Sementara itu, Ketua Umum Partai Bulan Bintang yang juga ahli hukum tata negara, Yusril Ihza Mahendra, menyayangkan langkah MK yang menolak uji materi Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum. Dengan putusan itu, memang, hanya partai atau gabungan partai dalam pemilu DPR lima tahun sebelumnya yang dapat mencalonkan pasangan presiden dan wakil presiden, dengan jumlah kursi DPR minimum 20% atau perolehan suara sah secara nasional minimum 25%.

“Saya berpendapat, Pasal 222 Undang-Undang Pemilu tentang ambang batas pencalonan presiden yang tetap dipertahankan MK itu sebagai sesuatu yang tidak sejalan dengan spirit konstitusi kita,” tutur Yusril melalui keterangan tertulisnya, Jumat (12/1). Toh, walau kecewa, Yusril mengatakan, putusan tersebut berlaku final dan mengikat secara hukum. Ruang perdebatan hanya menjadi wacana akademis. “Orang-orangnya seperti saya sudah biasa mengalami kekalahan berhadapan dengan pemegang otoritas, termasuk pula para hakim MK.”

Kendati begitu, ditegaskan Yusril, idealisme tetaplah harus ada dan harus terus diperjuangkan. Walau suatu ketika ia bisa kalah atau dikalahkan, kehidupan manusia dan peradaban akan terus berlanjut. “Biarlah sejarah yang menjawabnya dengan suatu harapan, generasi yang akan datang akan membaca data dan dokumen masa sekarang yang merekam semua perdebatan itu dan nanti akan menilainya dengan penuh kejujuran terhadap data sejarah yang kita tinggalkan,” kata Yusril lagi.

Hal senada juga diungkapkan mantan Ketua MK Mahfud M.D. “Sudah tidak perlu diperdebatkan. Sekarang sudah diputus dan harus disiapkan untuk dilaksanakan sebaik-baiknya,” tutur Mahfud di Yogyakarta, Jumat ini juga.

Menurut dia, setiap putusan MK memang selalu ada yang setuju dan ada yang tidak setuju. “Jangan berharap setiap ada putusan, semua orang bersorak senang. Pasti ada yang protes, terlepas dari itu sesuai Undang-Undang Dasar, putusan MK bersifat final dan mengikat,” ujarnya.

Penilaian yang menganggap putusan MK soal ambang batas pencalonan presiden lemah lantaran mengacu hasil Pemilu 2014, tambahnya, tidak tepat. Karena, pada kenyataannya, hukum zaman Belanda pun sampai saat ini masih bisa diberlakukan di Indonesia tanpa masalah. “Itu boleh kalau memang di masa peralihan. Tidak di masa peralihan pun sebenarnya boleh hukum yang lama diberlakukan sebagai patokan. Yang penting, DPR setuju dan tidak sewenang-wenang dan, menurut saya, itu tidak sewenang-wenang karena sudah diatur dan dibicarakan secara panjang lebar ketika undang-undang tersebut dibahas,” kata Mahfud.

Dalam pandangannya, apa pun hasil keputusan MK mengenai ambang batas pencalonan presiden akan menjadi perdebatan. Jika MK memutuskan ambang batas 0%, itu juga akan muncul pertanyaan tentang bagaimana cara menguji sebuah partai yang belum pernah ikut pemilu dan tiba-tiba mencalonkan presiden. “Saya sudah menduga, ini mau diputuskan apa pun pasti akan ramai,” tuturnya.Pada Juli 2017 lalu, ahli hukum tata negara dari Universitas Indonesia, Profesor Satya Arinanto, juga berpendapat presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden diperlukan. Karena, pemilu tak hanya soal mengutarakan pendapat dan menyatakan pilihan politik, tapi juga konsolidasi demokrasi. “Harus ada threshold, tapi angkanya terserah berapa,” kata Satya pada diskusi “Solusi Universitas Indonesia untuk Indonesia” di Jakarta, 18 Juli 2017.

Dijelaskan Satya, pandangannya tersebut didasarkan pada pengalaman Mahkamah Konstitusi Jerman dalam memutuskan kasus gugatan Partai Bavaria. “Dulunya, Partai Bavaria kuat, tapi pas pemilu ternyata perolehan suaranya gak sampai lima persen. Lalu, mereka menggugat ke MK. Yang digugat, di konstitusi tak ada ketentuan lima persen. Jadi, yang digugat persennya itu. Nah, MK menolak karena pemilu bukan semata–mata alat untuk menyampaikan pendapat atau pilihan politik, tapi juga integrasi demokrasi,” kata Satya.

Menurut Satya, pengertian konsolidasi demokrasi dalam konteks Indonesia adalah koalisi antar-partai politik. Partai-partai yang semula berbeda program kerja bersatu untuk menyamakan program kerja masing-masing. “Menurut saya, sepanjang koalisinya tidak transaksional, itu bagus. Tapi, memang, kenyataannya sekarang kan tidak,” katanya.

Dalam diskusi itu, Titi Anggraini dari Perludem juga mengungkapkan, kasus Jerman tak bisa diperbandingkan dengan Indonesia. Jerman menganut sistem parlementer, dengan pemilihan presiden dan pemilihan legislatif terpisah dan menerapkan sistem pemilu mixed member proportional (MMP). Akan halnya Indonesia menganut sistem presidensil dengan pemilu serentak dan sistem pemilu proportional representative (PR). Konsolidasi demokrasi ke depan tak semestinya diikat dengan hasil perolehan suara atau kursi parlemen pada konsolidasi demokrasi yang lalu.

“Yang Profesor Satya maksud itu election threshold, itu angkanya lima persen. Jadi, partai di Bundestag hanya akan diikutkan pada perolehan kursi kalau suara yang mencoblos lambang partai adalah lima persen. Penentuan kursi di Jerman didasarkan dari seberapa banyak yang nyoblos lambang partai,” tutur Titi. [RAF]