Presiden Minta Data COVID-19 Terintegrasi dan Terbarukan

Ilustrasi: Presiden Jokowi/ANTARA FOTO-Sigid Kurniawan

Koran Sulindo – Presiden Joko Widodo meminta seluruh data pandemi COVID-19 di Indonesia terpadu dan terbuka sehingga semua orang dapat mengakses data tersebut.

“Berkaitan dengan data dan informasi, saya minta data dan informasi terintegrasi semua kementerian masuk ke Gugus Tugas,” kata Presiden Jokowi, di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (13/4/2020). “Sehingga semua informasi ada baik mengenai jumlah Pasien Dalam Pengawasan (PDP), Orang Dalam Pemantauan (ODP) di daerah, jumlah yang meninggal, jumlah yang sembuh semua menjadi jelas dan terdata dengan baik.”

Presiden juga meminta data tersebut diperbaharui setiap hari.

“Harusnya ini setiap hari bisa ‘diupdate’ dan bisa lebih terpadu. Sekali lagi data terpadu ini menyangkut PDP, ODP, positif, kemudian yang sembuh, yang meninggal, jumlah yang di-PCR berapa ada semua dan terbuka semua sehingga semua orang bisa mengakses data ini dengan baik,” katanya.

Data per 12 April 2020, Kementerian Kesehatan memeriksa 27.075 spesimen dengan 22.834 kasus negatif dan 4.241 kasus terkonfirmasi positif.

Hingga Minggu (12/4), jumlah positif COVID-19 di Indonesia mencapai 4.241 kasus dengan 359 orang dinyatakan sembuh dan 373 orang meninggal dunia.

Kasus positif COVID-19 sudah menyebar di seluruh 34 provinsi di Indonesia dengan daerah terbanyak positif berturut-turut yaitu DKI Jakarta (2.044), Jawa Barat (450), Jawa Timur (386), Banten (281), Jawa Tengah (200), Sulawesi Selatan (222), Bali (81), Sumatera Utara (65), Yogyakarta (48), Papua (63), Nusa Tenggara Barat (37), Kalimantan Timur (35) dan provinsi lainnya.

Berdasarkan data dari situs Worldometers, hingga Minggu (13/4) siang terkonfirmasi di dunia ada 1.853.155 orang yang terinfeksi virus Corona dengan 114.247 kematian sedangkan sudah ada 423.625 orang yang dinyatakan sembuh. Kasus di Amerika Serikat mencapai 560.433 kasus, di Spanyol 166.831 kasus, di Italia 156.363 kasus, di Prancis 132.581, di Jerman sebanyak 127.854, Inggris sebanyak 84.279, di China 82.160 kasus, di Iran 71.686.

Dulu bikin Panik

Sebulan lalu, Jokowi masih meyakini transparansi data pandemi Corona mengandung akibat buruk karena bisa menimbulkan kepanikan warga.

“Sebetulnya kita inginnya menyampaikan, tapi kita juga berhitung mengenai kepanikan dan keresahan di masyarakat, juga efek nantinya pada pasien apabila sembuh,” kata Jokowi, Bandara Soekarno-Hatta, Jumat (13/3/2020). “Langkah-langkah serius telah kita ambil. Tapi di saat yang bersamaan, kita tak ingin menciptakan rasa panik, keresahan di tengah masyarakat.”

Saat itu Jokowi juga mengakui pemerintah merahasiakan sejumlah informasi soal penanganan pandemi corona.

Saat itu permintaan transparansi data Corona bergema. Suara itu bersumber dari kepala daerah, organisasi profesi, hingga pemerhati hak asasi manusia.

Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) Sri Sultan HB X meminta Presiden Jokowi membuka data zona merah virus Corona. Namun, Sultan mengungkapkan pada saat itu, Senin (30/3), pemerintah tak mau menjawab permintaannya. Padahal data zona merah diperlukan DIY untuk mengantisipasi persebaran virus Corona dari kasus impor (imported case) luar daerah.

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengatakan, pada Rabu (1/4), ada beberapa langkah untuk mengendalikan penyebaran virus COVID-19. Yang pertama kali perlu dilakukan adalah transparansi terkait data pasien positif Corona. Konteksnya adalah soal social distancing terkait pelacakan pergerakan kasus COVID-19.

Dari aspek tenaga kesehatan, Sekretaris Satgas COVID-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Dyah Agustina mengaku tidak tahu secara pasti jumlah tenaga kesehatan yang jadi suspect dan positif COVID-19. Amnesty International Indonesia mendesak pemerintah lebih proaktif menyampaikan informasi perkembangan wabah ini tanpa melanggar hak-hak pasien. Organisasi pemerhati HAM ini memandang transparansi data diperlukan sebagai dasar langkah mitigasi penyebaran COVID-19. [RED]