Presiden Joko Widodo bersama keluarga jalan pagi di sekitaran Istana Bogor, 8 Desember 2018. setneg.go.id

Presiden Joko Widodo (Jokowi) di ujung masa pemerintahannya mulai dituding membangun dinasti politik. Keluarganya ada di beberapa kursi kepala daerah, partai politik dan juga di Mahkamah Konstitusi.

Anak bungsu Jokowi, Kaesang Pangarep secara cepat diangkat menjadi Ketua Umum Partai Solidaritas Indonesia (PSI), sebelumnya putra dan menantu Jokowi masing-masing menjadi Wali Kota Solo dan Wali Kota Medan. Masih ada lagi Anwar Usman, ipar Jokowi sebagai Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK).

Semua itu tentu dibantah keluarga Jokowi dan para pendukungnya sebagai bagian dari demokrasi, karena mereka dipilih rakyat, bukan karena penunjukan dari presiden. Bantahan juga berlandas bahwa mereka semua sudah punya keluarga sendiri, sudah punya KK sendiri,  dan punya pilihan politik masing-masing

Kalau bicara dinasti politik, sebetulnya harus menyinggung tentang nepotisme yang sudah diatur dalam Ketetapan (TAP) MPR Nomor XI/1998 dan Undang-Undang (UU) Nomor 28 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan negara yang bebas dan bersih dari KKN (korupsi, kolusi dan nepotisme). Pelaku nepotisme diancam hukuman dua tahun penjara.

Pengertian nepotisme adalah penyelenggaraan negara yang me­ngeluarkan kebijakan yang menguntungkan keluarganya secara melawan hukum. Kata kuncinya adalah melanggar hukum, kalau kebijakan itu sesuai dengan UU dan aturan hukum lainnya, tentu boleh saja.

TAP dan UU anti-KKN ini dikeluarkan awal Refor­masi karena praktik nepotisme yang merajalela era Orde Baru, terutama pada masa akhir Orde Baru. Bisnis putra-putri Soeharto di mana-mana, salah seorang putrinya diangkat menjadi menteri sosial.

Namun, praktik ”dinasti”, terutama pada bidang politik, tetap berjalan pada era Reformasi karena sistem pemilihan yang terbuka dan langsung berbeda dengan sistem pemilihan berjenjang pada masa Orde Baru.

Agar bisa terpilih, seorang calon anggota legislatif dan eksekutif harus dikenal atau populer di masyarakat. Orang yang menjadi pejabat sipil/militer, pengusaha besar dan artis, termasuk tokoh yang dikenal oleh masyarakat. Menjadi anak pejabat atau anak artis menyebabkan seseorang juga ikut terkenal.

Kaderisasi Jokowi

Para pengamat politik yang konvensional ber­pendapat bahwa kaderisasi anggota partai harus dimulai dari bawah. Secara bertahap dan sejalan dengan perkembangan waktu, baru posisinya meningkat.

Namun, proses atau perjalanan politik Jokowi tidaklah seperti itu. Jokowi bukan kader PDI Perjuangan (PDI-P) sejak muda, tetapi ketika dicalonkan sebagai Wali Kota Solo, ia masuk PDI-P. Jokowi bukan keturunan trah Soekarno.

Ia ”bukan darah biru, tetapi darah segar” bagi PDI-P yang memahami dan menerapkan ajaran Bung Karno. Jokowi menjadi ”petugas partai”. Setelah sekian tahun, ia ternyata bukan sekadar ”petugas partai”, tetapi seorang Presiden Republik Indonesia yang justru menyumbang dukungan pemilih bagi PDI-P.

Keberhasilan Jokowi sebagai walikota Solo tentu sangat menentukan sebagai modal awal. Ketika putranya, Gibran Rakabuming mencalonkan diri sebagai wali kota, ingatan kolektif warga tentu tak lepas dari kepemimpinan sang ayah. Terus melakukan perubahan dan perbaikan di Kota Solo sehingga ada kalangan yang berpendapat bahwa Gibran juga cocok menjadi calon wakil presiden.

Namun, ia belum cukup umur. Jokowi sendiri pernah berkomentar bahwa Gibran masih belum berpengalaman banyak di pemerintahan.

Bantahan Jokowi

Dalam wawancara dengan BBC pada 2020 lalu, Presiden Jokowi menepis tudingan bahwa dirinya membangun dinasti politik.

“Dinasti politik itu kalau kita me­nunjuk anggota keluarga kita untuk menjabat. Misalnya saya menunjuk anak saya jadi menteri. Tapi kalau seorang keluarga, anak, misalnya, mendaftarkan diri, berpartisipasi dalam pilkada, yang menentukan rakyat bukan Jokowi,” kata Jokowi.

“Saya tidak akan kampanye untuk anak saya,” tegasnya.

Tudingan bahwa Jokowi membangun dinasti politik makin memanas setelah anak bungsunya, Kaesang Pangarep, terjun ke dunia politik, dan dipilih jadi ketua umum Partai Solidaritas Indonesia.

Diangkatnya Kaesang menjadi Ketua Umum PSI merupakan kejutan dan terobosan. PSI adalah partai anak muda yang sangat majemuk, terdiri dari berbagai suku bangsa dan agama. Dalam pemilu lalu, suara yang diperoleh hanya 1,6 persen dari pemilih sehingga partai ini belum masuk parlemen.

Terkait munculnya tudingan bahwa Jokowi sedang membangun dinasti politik karena anak-anaknya kini meng­ikuti jejaknya, Gibran tidak ambil pusing karena hasilnya bisa menang atau kalah.

“Kan nggak ada keharusan memilih Kaesang. Kaesang juga tidak ditunjuk. Tanya Kaesang saja,” ujarnya.

Terkait masuknya Kaesang ke dalam dunia politik, Gibran mengatakan ayah­nya itu pun “kaget”.

“Aku kaget dia secara terbuka menyampaikan ke saya bahwa dia ada ketertarikan di politik. Biasanya nggak pernah ngomong begitu,” ujar Gibran.

Dinasti politik Jokowi ini semakin menguat usai Ketua Mahkamah Kons­titusi (MK), Anwar Usman, resmi mem­persunting Idayati, adik kandung Jokowi.

MK bakal memutuskan apakah perubahan usia bakal calon presiden/wakil presiden disetujui atau ditolak. Hal ini terkait isu santer untuk meloloskan Gibran sebagai calon wakil presiden.

Presiden Joko Widodo mengaku sudah lama tidak bertemu putra sulung­nya Gibran Rakabuming yang belakangan disebut-sebut akan menjadi bakal calon wakil presiden Prabowo Subianto. Jokowi juga menjawab soal tudingan sedang membangun dinasti politik.

“Beberapa bulan nggak pernah ke­temu,” kata Jokowi di sela kegiatannya di Indramayu.

Hal itu disampaikan Jokowi saat menjawab pertanyaan apakah Gibran berkonsultasi dengan dirinya terkait isu menjadi cawapres Prabowo Subianto.

Terakhir Presiden Jokowi kembali meres­pons adanya anggapan dinasti politik usai melakukan panen raya di Jalan PLTU Indramayu, Desa Karanglayung, Sukra, Jawa Barat, Jumat (13/10/2023). Jokowi menyerahkan anggapan tersebut ke masyarakat.

“Serahkan masyarakat saja,” kata Presiden Jokowi.

Mengabaikan proses kaderisasi

Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan ”pada dasarnya semua orang berhak untuk terjun ke dunia politik”, tetapi pada kondisi ter­tentu dinasti politik akan ”menjadi contoh buruk bagi budaya dan ekosistem politik”.

Sebab, politisi yang memiliki jaringan kekerabatan “sering mengabaikan” pro­ses kaderisasi dan demokrasi di internal partai.

“Sehingga banyak keistimewaan berupa jalur cepat untuk menduduki posisi penting dan strategis dalam struktur partai yang mereka peroleh tanpa melalui proses kaderisasi ataupun rekrutmen politik demokratis yang bermakna,” kata Titi.

Dia menyebut hal itu sebagai salah satu “penyakit bawaan politisi dengan jejaring dinasti”.

Titi menilai ketika Gibran Raka­buming, dan Bobby Nasution menca­lonkan diri sebagai kepala daerah pada 2019 lalu, langkah ini sebagai awal kelahiran dinasti politik baru dari klan Jokowi. Ini semua bisa terjadi karena Jokowi merestui.

“Secara moral menjadi sesuatu yang disayangkan oleh banyak kelompok. Karena ternyata kekuasaan itu menggoda, dan godaan itu sulit ditepis oleh lingkungan di sekitar Jokowi,” kata Titi Anggraini. [KS-07]