KASUS pembunuhan yang dilakukan aparat negara kembali mewarnai tahun ketiga pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) periode kedua. Kasus-kasus yang melibatkan anggota Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mapun Tentara Nasional Indonesia (TNI) kini tengah menjadi sorotan masyarakat luas.
Setelah Juli 2022 lalu merebak kasus pembunuhan Brigadir Polisi Joshua Hutabarat yang di otaki mantan Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, pada bulan Agustus terungkap pula pembunuhan kejam dengan mutilasi yang melibatkan 6 anggota TNI di Mimika, Papua.
Rentetan peristiwa ini mendapat sorotan masyarakat luas karena dilakukan secara sadis dan melibatkan serombongan aparat bersenjata negara.
Pada kasus pembunuhan Brigadir Joshua Hutabarat, Jokowi hingga empat kali meminta agar kasus itu di ungkap secara transparan jangan ada yang ditutupi.
”Tuntaskan, jangan ditutupi, terbuka. Jangan sampai ada keraguan dari masyarakat,” kata Jokowi di Istana Negara, Rabu (13/7), mengenai kasus penembakan Joshua.
Pesan Presiden menyiratkan bahwa kasus tersebut dapat menyebabkan semakin merososnya kepercayaan masyarakat terhadap aparat negara termasuk Kepolisian. Jika ini terjadi maka dapat berimbas turunnya kepercayaan publik pada pemerintah.
Kasus pembunuhan di Papua
Belum usai kasus di tubuh Polri, terkuak satu kasus lagi, yaitu pembunuhan kejam oleh gerombolan oknum Tentara Nasional Indonesia (TNI). Akibatnya 4 orang warga Mimika, Papua tewas mengenaskan dengan tubuh termutilasi dalam karung yang di buang ke sungai.
Direskrimum Polda Papua Kombes Faizal Ramadhani menyebut para pelaku ada sembilan orang, enam di antaranya adalah oknum anggota TNI. Sedangkan jumlah korban empat orang.
“Keempat korban dipancing oleh pelaku untuk membeli senjata jenis AK 47 dan FN seharga Rp 250 juta,” ujar Faizal melalui pesan singkat.
Setelah melakukan pembunuhan, selanjutnya para pelaku memasukkan jenazah ke dalam mobil korban dan membawanya ke Sungai Kampung Pigapu, Distrik Iwaka, untuk dibuang.
Pelaku lebih dulu memasukkan korban ke dalam karung. “Sebelum dibuang, keempat korban semuanya dimutilasi dan dimasukan ke dalam enam karung,” kata dia.
Panglima TNI Jenderal TNI Andika Perkasa dan Kepala Staf TNI AD (Kasad) Jenderal TNI Dudung Abdurachman telah memerintahkan Puspomad untuk mengusut tuntas kasus yang diduga melibatkan enam prajurit TNI AD.
Sementara itu, Kepala Dinas Penerangan TNI Angkatan Darat (Kadispenad) Brigjen TNI Tatang Subarna mengatakan Subdenpom XVII/Cenderawasih di Mimika saat ini telah mengamankan enam oknum prajurit TNI AD itu.
Adapun enam prajurit TNI Angkatan Darat (AD) ditetapkan sebagai tersangka berasal dari kesatuan Brigif 20/IJK/3 Kostrad, terdiri dari 1 orang berpangkat mayor, 1 orang berpangkat kapten, 1 orang berpangkat praka, dan 3 orang berpangkat pratu. Mereka ditahan selama 20 hari, terhitung sejak 28 Agustus, di ruang tahanan Subdenpom XVII/C Mimika.
Kasus ini pun mengusik Presiden setelah banyak sorotan dari masyarakat atas kekejian yang dilakukan para oknum TNI tersebut.
“Sekali lagi, proses hukum harus berjalan sehingga kepercayaan masyarakat kepada TNI tidak pudar,” kata Jokowi di Papua, sebagaimana dilansir kanal YouTube Sekretariat Presiden, Rabu (31/8).
Tindak kekerasan aparat
Kasus pembunuhan oleh oknum Polri dan TNI secara bergerombol mencerminkan masalah krusial dalam tubuh aparat negara pada dua lembaga tersebut.
Tidak hanya pada kasus Brigadir Jushua atau kasus mutilasi di Mimika, tindak kekerasan aparat juga banyak terkuak dan menjadi sorotan publik.
Tindak kekerasan aparat juga terjadi pada penembakan KM 50 terhadap anggota FPI yang dinilai termasuk dalam kateggori ‘Extrajudicial Kiling’ atau pembunuhan tanpa proses hukum oleh aparat. Begitu pula kekejaman 3 anggota TNI yang membuang korban yang mereka tabrak di Nagrek, Kabupaten Bandung.
Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik dalam peringatan hari HAM Desember lalu menyampaikan catatan mengenai situasi HAM di Indonesia. “Kekerasan aparat masih menjadi catatan penting situasi hak asasi manusia di Indonesia. Komnas HAM masih terus menerima berbagai pengaduan mengenai kekerasan dan penyiksaan,” ujar Taufan.
Polisi menjadi sorotan karena kerap terlibat dalam tindak kekerasan yang diadukan masyarakat. Dalam catatan Komnas HAM Desember 2021 terdapat 2.331 Aduan Sepanjang tahun 2021, aduan tertinggi terkait institusi Polri. Aduan ini terkait ketidakprofesionalan prosedur kepolisian. Kemudian, kekerasan hingga penyiksaan oleh aparat kepolisian terhadap warga sipil.
“Kita berharap angka kekerasan terus mengecil dan perilaku terbaik serta beradab untuk semua lini semakin baik,” kata Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam pada konferensi pers situasi kekerasan Tahun 2020-2021 di Jakarta, Senin (17/02).
Sebelumnya Komnas HAM telah membentuk Tim Pemantauan Kekerasan Negara dan Masyarakat Sipil. Tim tersebut dibentuk khusus untuk mendata bentuk kekerasan yang dilakukan aparat negara, terutama polisi.
Ketika kasus kekerasan aparat hingga mengusik Presiden, maka itu bukan lagi masalah ‘biasa-biasa’ saja yang dapat di selesaikan seiring berjalannya waktu.
Masalahnya mungkin tidak sekedar tentang ‘Citra’ lembaga dan aparat negara. Lebih jauh lagi kasus ini dapat terkait dengan profesionalitas, manajemen personil, kontrol persenjataan, rantai komando, hingga masalah demokrasi dan hak asasi manusia. Namun sekali lagi, sebaiknya kita jangan sederhanakan masalah jika tidak ingin muncul masalah yang lebih besar dan lebih rumit.
Perlu ada pemahaman dan solusi yang lebih sistematis agar tindak kekerasan aparat baik yang terkoordinasi atau spontan tidak terulang. [PTM]