Ilustrasi

Koran Sulindo – Janji Kampanye Jokowi-JK yang memberikan perlindungan bagi semua Pekerja Rumah Tangga (PRT) yang bekerja di dalam maupun di luar negeri dinilai masih sekedar janji yang belum terpenuhi. Situasi hidup dan kerja PRT sama sekali tidak mencerminkan bahwa PRT menjadi bagian dari Pembangunan Berkelanjutan dan Nawacita itu sendiri.

Hal ini dilontarkan Jaringan Perlindungan Pekerja Rumahtangga Daerah Istimewa Yogyakarta (JPPRT-DIY), dalam rangka memperingati Hari PRT Internasional ke-6 yang jatuh pada 16 Juni ini.

“PRT Indonesia justru semakin terdiskriminasi dan bekerja dalam situasi perbudakan modern dan rentan kekerasan. PRT masih belum diakui sebagai pekerja dan mengalami pelanggaran atas hak-haknya baik sebagai manusia, pekerja dan warga negara,” kata Jumiyem dari JPPRT-DIY saat menggelar konperensi pers di LBH Yogya, Jumat (16/6).

Tercatat di dalam negeri sampai dengan Mei 2017 tercatat 129 kasus kekerasan PRT termasuk pengaduan upah tidak dibayar, PHK menjelang Hari Raya dan THR yang tidak dibayar.  Junlah kasus tersebut, menurut Jumiyem, adalah data yang dihimpun berdasar pengaduan dari lapangan pengorganisasian.

Menyinggung upah, Jumiyem juga mengutarakan bahwa upah PRT masih jauh sekali dari perlindungan dengan upah dari berbagai wilayah kota besar: Medan, Lampung, DKI Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Makassar berkisar 20-30% dari UMR. Artinya mayoritas PRT hidup dalam garis kemiskinan dan bahkan tidak bisa mengakses perlindungan sosial dan mendapatkan hak dasar ketenagakerjaan.

“Situasi tersebut kontradiktif dengan Program Pembangunan Berkelanjutan yang dicanangkan oleh Pemerintah,” katanya.

Di samping itu, lanjut Jumiyem, dari survei Jaminan Sosial JALA PRT terhadap 4296 PRT yang diorganisir di 6 kota, diketahui ada 89% (3823) PRT tidak mendapatkan Jaminan Kesehatan. 99% (4253) PRT tidak mendapatkan hak Jaminan Ketenagakerjaan. “Mayoritas PRT membayar pengobatan sendiri apabila sakit  termasuk dengan cara berhutang, termasuk berhutang ke majikan dan kemudian dipotong gaji,” ujarnya.

Toh ada Program Penerima Bantuan Iuran (KIS), kata Jumiyem, namun PRT mengalami kesulitan untuk bisa mengakses program tersebut karena tergantung dari aparat lokal untuk dinyatakan sebagai warga miskin. Demikian pula untuk PRT yang bekerja di DKI Jakarta dengan KTP wilayah asal juga kesulitan untuk mengakses Jaminan Kesehatan baik dari akses Jaminan ataupun layanan.

Menurut Jumiyem, sebagai pekerja, PRT masih dikecualikan dalam peraturan perundangan mengenai jaminan sosial. Sehingga PRT tidak mendapatkan hak Jaminan Kesehatan dan Jaminan Ketenagakerjaan dari majikan dan pemerintah.  Angka 4296  bsia merepresentasikan 10,7 juta (Data JALA PRT) atau 4,5 juta (Data Surver ILO Jakarta 2016) yang mayoritas tidak mendapatkan Jaminan Sosial. Bahkan dalam catatan pengaduan lapangan, 56 PRT mengalami PHK ketika meminta hak Jaminan Kesehatan.

Jumiyem juga menyayangkan tak diakomodirnya PRT dalam UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Hal ini menyebabkan PRT tidak memiliki jaminan perlindungan sebagaimana pekerja pada umumnya. Jika pekerja dapat mengadukan permasalahannya kepada Dinas Tenaga Kerja, maka PRT tidak dapat melakukannya. Permasalahannya terhenti di tingkatan aparat hukum. “Hal ini merupakan bentuk pelanggaran hak asasi manusia, dimana akses keadilan untuk menempuh upaya hukum tidak disediakan oleh negara,” ujar Jumiyem lagi.

Oleh karena itulah, menurut Jumiyem, dalam momen peringatan Hari PRT Internasional ini, JPPRT mengajukan beberapa tuntutan. Pertama, segera jadikan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (UU PPRT) masuk dalam prioritas prolegnas tahunan, dan segera mengesahkan UU Perlindungan PRT. Kedua, menuntut Presiden RI, Joko Widodo dan DPR RI untuk segera meratifikasi Konvensi ILO No. 189 mengenai Kerja Layak bagi PRT sebagai tindak lanjut sikap politik pemerintah Indonesia yang disampaikan dalam Pidato Politik Presiden RI dalam Sesi ke-100 Sidang Perburuhan Internasional, 14 Juni 2011 dan pemenuhan janji Nawacita Presiden RI untuk memberikan perlindungan bagi PRT di dalam negeri dan di luar negeri.

Ketiga, mendesak pemerintah mengambil langkah-langkah secara institusional, administratif dan juga hukum untuk melindungi dan memberdayakan PRT dan PRT migran Indonesia. [YUK]