Sulindomedia – Rencana DPR merevisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) banyak ditentang berbagai kalangan. Penolakan terbaru datang dari Ketua Setara Institute, Hendardi. Lewat keterangan pers-nya pada Rabu ini (3/2/2016), Hendardi meminta Presiden Joko Widodo menolak rencana tersebut. “Presiden memiliki 50 persen kewenangan dalam pembahasan sebuah RUU. Kesempatan untuk menolak itu harus digunakan oleh presiden,” katanya.

Presiden Joko Widodo, tambahnya, harus berada di garis terdepan dalam menolak pelemahan KPK. Hendardi menilai, rencana DPR merevisi Undang-Undang KPK merupakan ujian kedua bagi Jokowi. Ia pun berharap Jokowi jangan bernegosiasi dengan partai politik demi penguatan KPK. Apalagi, Hendardi menduga, rencana revisi Undang-Undang KPK adalah memberikan proteksi terhadap orang-orang bermasalah.

“Perubahan haluan dukungan partai-partai politik atas revisi Undang-Undang KPK menunjukkan watak sebenarnya kekuasaan yang hanya berfokus melindungi diri sendiri dari potensi ancaman penindakan dari praktik korupsi,” ujar Hendardi.

Ia menilai partai-partai pendukung revisi Undang-Undang KPK mengharapkan adanya ruang intervensi yang menguntungkan bagi kelompok mereka sendiri. Menurut Hendardi, salah satu fungsi terburuk partai politik di Indonesia adalah memberikan proteksi terhadap orang-orang bermasalah, termasuk dalam soal masalah korupsi, dengan menggunakan kekuasaan di parlemen dan pemerintahan.

Sebelumnya, Badan Legislasi (Baleg) DPR mengatakan akan meminta masukan pihak KPK sebelum membentuk Panitia Kerja Revisi Rancangan Undang-Undang KPK.

“Biasanya, setelah pemaparan akhir dari pengusul soal draf RUU akan dibentuk panitia kerja. Namun, pada usulan revisi Undang-Undang KPK, Baleg akan lebih dulu mengundang KPK dan pakar untuk menyampaikan pandangan dan masukannya,” ujar Ketua Baleg DPR RI, Supratman Andi Agtas, ketika memimpin rapat Baleg DPR RI di Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Senin lalu (1/2/2016).

Dalam rapat itu, sejumlah anggota Baleg menyampaikan masukannya. Anggota Baleg Almuzammil Yusuf menyampaikan usulannya agar Baleg mengundang KPK lebih dulu untuk memberikan masukan sebelum membentuk panitia kerja. “Pada usulan revisi Undang-Undang KPK ini, Baleg belum melibatkan KPK, pakar yang peduli terhadap keberadaan KPK, untuk menyamoaikan masukan, termasuk menyampaikan naskah akademik pembanding,” katanya.

Adapun anggota Baleg Rufinus Hutahuruk mengusulkan, dalam naskah akademis sebaiknya persoalan KPK didudukkan dalam struktur hukum di Indonesia sebelum masuk ke substansi usulan perubahan. Menurut dia, harus jelas dulu, dalam struktur hukum di Indonesia, apakah KPK masuk ke dalam criminal justice system atau tidak. “Kalau sudah jelas duduk persoalan dan posisinya, baru kemudian masuk ke sunstansi,” ujarnya.

Rufinus menegaskan, dalam usulan revisi Undang-Undang KPK nanti tidak mempersoalkan menguatkan atau melemahkan KPK, tapi mengikuti kaidah hukum di Indonesia. Menurut dia, untuk membangun kekuatan KPK, strukturnya diperbaiki lebih dulu, baru kemudian merevisi substansi. [CHA\PUR]