Koran Sulindo – Electricite de France (EDF) Energy, perusahaan energi pelat merah Prancis, akan bekerja sama dengan empat perusahaan Indonesia untuk mengembangkan energi terbarukan. Keempat perusahaan itu adalah PT PLN (Persero) dan anak perusahaannya PT Indonesia Power; Kencana Energi Dunia, dan; Adaro Energi.
Dijelaskan Direktur Internasional Group Member Komite Eksekutif EDF Energy, Marianne Leigneau, kerja sama ini untuk menunjukkan kapasitas EDF dalam membantu Indonesia agar dapat mengembangkan ekosistem energi di Indonesia. “Memang baru satu tahun di Indonesia, tapi kami sudah mulai buka beberapa kerja sama dan project opportunity. Karena itu, kami tunjukan Indonesia bisa rely to EDF untuk membantu mengembangkan ekosistem energi di Indonesia,” kata Marianne kepada wartawan di Jakarta, Kamis (1/11).
Untuk perjanjian kerja sama dengan Adaro meliputi elektrifikasi di daerah-daerah terpencil, dengan kombinasi biomasa, Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), dan baterai. “Kami akan ada MoU dengan Adaro untuk kerja sama soal elektrifikasi pulau daerah terpencil yang belum terlistriki,” ujar Marianne.
Proyek itu sedang dikembangkan untuk diujicoba di pulau dengan populasi 5.000 orang. “Energi itu akan digunakan untuk rumah tangga dan industri lokal,” kata Chief Representative Director EDF Indonesia Frederic Fontan.
Akan halnya kerja sama dengan Indonesia Power dan PLN sedang dalam proses studi pengembangan PLTS, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA), dan pengembangan aset untuk pulau atau daerah terpencil. Namun, nilai investasinya belum dapat dipaparkan, karena yang dilakukan sampai sekarang baru studi serta uji kelayakan proyek.
“Dengan begitu, besaran investasi tidak dibatasi dan tergantung pada hasil uji kelayakannya. Semua masih dalam tahap kajian kelayakan. Tapi, jika proyek-proyek yang dikaji itu layak, berapa pun besarnya kami siap investasi,” kata Fontan.SEBELUMNYA, pada 22 Oktober 2018 lalu, Rektor Universitas Pertamina Akhmaloka mengatakan, masih ada sejumlah permasalahan yang menjadi pekerjaan rumah dalam mengembangkan energi terbarukan. “Yang paling didukung sejauh ini kan energi solar. Namun, yang masih jadi masalah di solar energy adalah baterai, contohnya di mobil listrik,” kata Akhmaloka di Jakarta.
Berat baterai mobil listrik, tambahnya, menjadi kendala, karena dapat mencapai 300 kilogram. Jadi, bobot mobil sudah berat walau belum ditambah berat penumpang atau muatan.
“Mobil listrik itu baterainya masih 300 kilogram, jadi mobilnya sudah terlalu berat bahkan saat belum ada penumpangnya,” ujarnya.
Selaian itu juga soal kapasitas penyimpanan baterainya masih kurang maksimal. Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi kembali baterai pun relatif lama.
“Kapasitas penyimpanannya kurang besar. Misalnya, kalau mau bolak-balik Bandung-Jakarta itu mesti di-recharge. Waktu recharge-nya empat jam. Itu kan tidak efisien. Padahal, kalau pakai bensin hanya satu-dua menit bisa sampai full tank, kata Akhmaloka.
Walau begitu, lanjutnya, sekarang sudah mulai dikembangkan baterai generasi kedua. Adanya baterai ini akan menambah peluang pengembangan energi surya, terutama mobil listrik di Indonesia.
Ini mestinya dibarengi dengan regulasi pemerintah yang mendukung adanya pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia. “Sebenarnya, yang paling perlu itu regulasi dan dukungan untuk menyukseskannya,” ungkap Akhmaloka lagi.PERTAMINA pun kini dikabarkan tengah mengembangkan inovasi berupa stasiun penyedia listrik umum (SPLU) untuk mobil listrik. “Pilot project sudah ada di Kuningan di SPBU Pertamina Retail,” kata Direktur Pemasaran Retail Pertamina Masud Khamid di Jakarta, 31 Agustus 2018 silam.
Sebelumnya, mesin pengisian daya mobil listrik yang dinamakan Green Energy Station ini telah diuji coba di pameran Gaikindo Indonesia International Auto Show (GIIAS). Nantinya, di SPBU tak hanya ada bahan bakar minyak dan gas, tapi juga listrik.
Malah, rencananya juga, di SPBU Pertamina disediakan baterai cadangan untuk motor listrik. “Kalau motor listrik mau habis, silakan ke situ, tukar baterai. Kalau mau mobil, ya di-charge,” ujar Masud.
Untuk itu, Pertamina bekerja sama dengan beberapa pemegang merek besar di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang. Namun, Pertamina belum menargetkan berapa SPLU yang akan beroperasi.
Pertamina akan melihat dulu animo masyarakat. Juga akan selektif memilih daerah yang akan dipasang SPLU. “Kami taruh di kota-kota yang penetrasi mobil listriknya tinggi. Kan, pabrikan motor listrik mulai agresif. Teknologi kendaraan listrik sudah banyak dipakai,” tutur Masud.
Pada Juli 2018 lalu, pihak PT PLN (persero) juga menyatakan siap mendukung program pengembangan mobil listrik di Indonesia. Menurut Direktur Perencanaan Korporat PLN Syovfi Felienty, PLN siap mendukung dalam hal pasokan energinya.
“PLN pada prinsipnya sangat mendukung mobil listrik. PLN akan mendukung dari supply listriknya,” ujar Syovfi di Jakarta, 10 Juli 2018.
PLN sekarang, kata Syovfi lagi, telah memiliki 1.000 Stasiun Penyedia Listrik Umum (SPLU) di Jakarta, tapi masih low charging. Rencananya, PLN akan membuat SPLU fast charging.
“Nanti kami tentukan di mana posisi untuk fast charging. SPLU-nya tidak hanya di Jakarta, tapi di kota-kota besar lainnya di Indonesia,” tuturnya.SOAL regulasi terkait kendaraan bermotor listrik, yang nantinya berupa peraturan presiden (perpres), telah selesai dilakukan pengkajiannya oleh Kementerian Perindustrian dan draft perpres itu telah ke Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman pada 15 Oktober 2018 lalu. Selanjutnya akan dikoordinasikan dan dimintakan persetujuan dari Presiden Joko Widodo. Yang ikut berperan dalam perumusan regulasi itu, selain Kementerian Perindustrian dan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, adalah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementerian Keuangan, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Komisi Pemberantasan Korupsi.
Menurut Direktur Industri Maritim, Alat Transportasi, dan Alat Pertahanan Kementerian Perindustrian Putu Juli Ardika, dalam proses penyusunan Perpres Kendaraan Listrik diperlukan kajian, koordinasi, dan pembahasan yang intensif dengan melibatkan berbagai pihak. Beberapa pihak yang dilibatkan antara lain dari akademisi, pelaku industri, dan institusi terkait, untuk menyempurnakan substansinya serta menyelaraskan dengan peta jalan (road map) pengembangan industri kendaraan bermotor yang diinisiasi Kementerian Perindustrian.
Menurut road map industri otomotif terbaru yang disusun Kementerian Perindustrian, sekitar 20% dari seluruh produksi mobil di Indonesia pada tahun 2025 merupakan bagian dari program low carbon emission vehicle (LCEV).
“Untuk mengharmonisasikan masukan-masukan yang ada memang dibutuhkan proses pembahasan yang cukup lama, untuk memastikan arah kebijakan dapat dilakukan dengan sebaik-baiknya dalam mendukung tumbuhnya industri otomotif nasional,” kata Putu di Jakarta, 19 Oktober 2018.
Proses pembahasan melibatkan seluruh pemangku kepentingan terkait, agar mendapatkan masukan secara komprehensif. Yang dilibatkan antara lain asosiasi industri otomotif nasional, yang meliputi Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI), Gabungan Industri Alat Mobil dan Motor (GIAMM), serta Perkumpulan Industri Kecil-Menengah Komponen Otomotif (PIKKO). Institusi independen seperti Persatuan Insinyur Indonesia (PII) dan Institut Otomotif Indonesia (IOI) juga diikutkan.
“Kami juga melakukan pembahasan dengan para peneliti, institusi pendidikan seperti LPEM UI dan ITB, serta pelaku industri lokal, di antaranya GESITS, Molina, Aplikabernas, dan MAB,” ungkap Putu.
Sebelumnya, pada 5 September 2018, Presiden Joko Widodo menjanjikan, regulasi itu akan hadir secepatnya “Masih dalam proses. Secepatnya,” kata Jokowi saat seremoni “Realisasi 1 Juta Unit Ekspor CBU” di Tanjung Priok Jakarta.
Pada akhir Juni 2018 lalu, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral mengungkapkan, 46 dari 70 proyek pembangkit listrik Energi Baru Terbarukan terancam menjadi proyek mangkrak. Karena, 46 proyek tersebut kesulitan mendapatkan sumber pendanaan untuk pembiayaan proyek. [RAF]