SEBELUMNYA, pada 22 Oktober 2018 lalu, Rektor Universitas Pertamina Akhmaloka mengatakan, masih ada sejumlah permasalahan yang menjadi pekerjaan rumah dalam mengembangkan energi terbarukan. “Yang paling didukung sejauh ini kan energi solar. Namun, yang masih jadi masalah di solar energy adalah baterai, contohnya di mobil listrik,” kata Akhmaloka di Jakarta.

Berat baterai mobil listrik, tambahnya, menjadi kendala, karena dapat mencapai 300 kilogram. Jadi, bobot mobil sudah berat walau belum ditambah berat penumpang atau muatan.

“Mobil listrik itu baterainya masih 300 kilogram, jadi mobilnya sudah terlalu berat bahkan saat belum ada penumpangnya,” ujarnya.

Selaian itu juga soal kapasitas penyimpanan baterainya masih kurang maksimal. Waktu yang dibutuhkan untuk mengisi kembali baterai pun relatif lama.

“Kapasitas penyimpanannya kurang besar. Misalnya, kalau mau bolak-balik Bandung-Jakarta itu mesti di-recharge. Waktu recharge-nya empat jam. Itu kan tidak efisien. Padahal, kalau pakai bensin hanya satu-dua menit bisa sampai full tank, kata Akhmaloka.

Walau begitu, lanjutnya, sekarang sudah mulai dikembangkan baterai generasi kedua. Adanya baterai ini akan menambah peluang pengembangan energi surya, terutama mobil listrik di Indonesia.

Ini mestinya dibarengi dengan regulasi pemerintah yang mendukung adanya pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia. “Sebenarnya, yang paling perlu itu regulasi dan dukungan untuk menyukseskannya,” ungkap Akhmaloka lagi.