Prahara Perppu Cipta Kerja dan Pasal Kontroversialnya, Lalu untuk Siapa?

POLEMIK terkait Perppu atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 yang disahkan pada 30 Desember 2022 terus bergulir. Perppu ini adalah pengganti UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang sebelumnya telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh MK atau Mahkamah Konstitusi pada 25 November 2011. Saat itu MK mengabulkan sebagian permohonan yang diajukan oleh Migrant CARE, Badan Koordinasi Kerapatan Adat Nagari Sumatera Barat, Mahkamah Adat Minangkabau, serta Muchtar Said.

Dalam putusannya MK menyatakan UU Cipta Kerja bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. MK juga memberikan waktu perbaikan, yaitu selama 2 tahun. Namun, pada akhir tahun 2022 secara tiba-tiba Presiden Joko Widodo menerbitkan Perppu Cipta Kerja yang mendapatkan kritik tajam oleh beberapa pihak hingga masyarakat luas.

Dalam konferensi pers di Jakarta pada tanggal 30 Desember 2022, Mahfud MD Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan atau Menkopolhukam membeberkan alasan mengapa penerbitan Perppu ini dilakukan secara mendadak.

Mahfud MD mengatakan bahwa Perppu Cipta Kerja ini harus ada karena alasan mendesak. Adapun alasan lainnya adalah adanya kekosongan hukum, dan Perppu ini dirasa memberikan kepastian hukum yang belum didapat dari Undang-Undang yang telah berlaku. Ia mengatakan bahwa peraturan saat itu juga dinilai lama atau harus melewati berbagai serangkaian prosedur.

“Oleh sebab itu pemerintah memandang ada cukup alasan untuk menyatakan bahwa diundangkannya Perppu nomor 2 Tahun 2022 ini didasarkan pada alasan mendesak,” ucap Mahfud MD.

Alasan mendesak tersebut diyakini akibat perang panjang antara Ukraina dengan Rusia sejak Februari 2022 yang secara internasional hingga nasional mempengaruhi perdagangan dunia termasuk Indonesia. Selain itu adanya ancaman resesi dan inflasi di tahun 2023.

Sehingga baginya pemerintah harus mengambil langkah – langkah strategis secepatnya. Jika harus menunggu tenggat waktu yang diberikan MK pada perbaikan UU Cipta Kerja, maka pemerintah akan tertinggal untuk mengantisipasi  terjadinya hal-hal yang akan terjadi. Oleh sebab itu, Mahfud MD menuturkan langkah strategis yang bisa dilakukan adalah melalui penerbitan Perppu Cipta Kerja ini.

Alasan yang sama dibeberkan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto. Ia menyebutkan bahwa pelaku usaha nasional dan luar negeri sedang menunggu keberlanjutan atau keputusan terkait UU Cipta Kerja yang dibatalkan oleh MK tersebut. Airlangga juga mengutarakan bahwa pada tahun 2023 investasi menjadi salah satu jalan. Oleh sebab itulah mengapa penerbitan Perppu Cipta Kerja harus segera ada untuk mengisi kekosongan hukum bagi pelaku usaha atau investor.

Seperti yang diketahui baik dalam UU Cipta Kerja hingga Perppu, pasal-pasal kontroversi banyak didapati termasuk pada bagian ketenagakerjaan. Pasal-pasal tersebut menyangkut nasib jutaan pekerja di Indonesia, salah satunya mengenai penetapan upah minimum.

Dalam Perppu Cipta Kerja pasal 88C menyatakan bahwa Gubernur dapat menetapkan upah minimum kabupaten/kota. Hal ini mendapatkan penolakan serius dari serikat buruh. Menurut mereka kata ‘dapat’disini yang menjadi masalah.

Kata ‘dapat’ bisa diartikan sebagai bisa ia atau bisa tidak tergantung dari sisi gubernur. Padahal menurut tuntutan kaum buruh, Gubernur wajib menetapkan upah minimum kabupaten/kota.

Begitu pula dengan formula penghitungan upah minimum yang tercantum dalam pasal 88D. Perhitungan upah dipertimbangkan dari variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu. Akhirnya, pasal ini tidak bisa memberi jawaban kepastian tentang variabel yang dimaksud meskipun pada pasal selanjutnya akan diatur dalam peraturan pemerintah.

Mengutip perkataan dari Mahfud MD tentang kepastian hukum, pada pasal ini pun bisa dikatakan sebagai ketidakjelasan. Bagaimana cara menghitung variabel yang benar dan adil soal upah? Padahal jelas seharusnya pemerintah melihat perhitungan upah didasari taraf kebutuhan hidup layak di masyarakat. Bahkan pada pasal 88F, Pemerintah bisa menetapkan formula penghitungan upah minimum dalam keadaan tertentu yang lagi-lagi tanpa kejelasan mengenai cara penghitungan tersebut.

Seperti yang diketahui Perppu Cipta Kerja ini bisa dibatalkan oleh DPR melalui rapat paripurna. Ini sesuai dengan pasal 71 huruf b  Undang-undang nomor 2 Tahun 2018 Tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, dan DPD menyatakan bahwa : “DPR berwenang memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang diajukan oleh Presiden untuk menjadi undang-undang.” [NS]