PP Diteken, Freeport Punya Waktu 5 Tahun Bangun Smelter

Koran Sulindo – Setelah Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2017 yang diteken Presiden Joko Widodo pada Rabu (11/1) kemarin, PT Freeport terancam tidak bisa mengekspor konsentrat. Pasalnya, perusahaan asal Amerika Serikat (AS) itu masih menggunakan izin Kontrak Karya.

Sesuai dengan PP terbaru yang merupakan perubahan keempat atas PP Nomor 23 Tahun 2010 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara, perusahaan yang boleh mengekspor mineral tanpa pemurnian terlebih dulu adalah pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan IUP Khusus.

Dan perusahaan tersebut berkomitmen untuk membangun proses pemurnian mineral (smelter). “Itu merujuk pada Pasal 112 ayat 5 PP tersebut. Ketentuan turunannya adalah Peraturan Menteri ESDM yang menyebutkan ekspor mineral boleh dilakukan pemegang IUP atau IUPK dalam jangka lima tahun smelter selesai dibangun,” kata Menteri ESDM Ignasius Jonan di Jakarta pada Kamis (12/1).

Jonan mengatakan, pemerintah tidak akan memaksa perusahaan seperti Freeport untuk mengubah izin Kontrak Karyanya menjadi IUP atau IUPK. Pemerintah akan tetap menghormatinya. Itu berarti  perusahaan tersebut tidak ingin melakukan ekspor.

Freeport hanya wajib membangun smelter termasuk fasilitas pengolahan dan pemurnian dalam waktu lima tahun ini. Dikatakan Jonan, pemerintah akan menunjuk pihak yang mengawasi dan mengevaluasi tingkat kemajuan smelter dalam waktu enam bulan sekali.

Kemajuan pembangunan fisik smelter harus mencapai 90 persen dari perencanaan sebagai syarat untuk mendapat izin ekspor dari Kementerian ESDM. Jika tidak ada kemajuan, pemerintah menegaskan akan menyetop izin ekspornya. Pemerintah juga akan mengenakan bea keluar khusus sekitar 10 persen jika IUP atau IUPK bisa mendapatkan relaksasi ekspor.

Syarat lainnya, kata Jonan, perusahaan pertambangan yang berizin IUPK mesti berkomitmen melepas sahamnya sebanyak 51 persen kepada negara secara bertahap. Mulai tahun kelima hingga ke-10 produksinya.

Khusus untuk Freeport, berdasarkan PP itu, wajib melepas sahamnya sebesar 30 persen ke investor nasional karena dikategorikan sebagai perusahaan pertambangan bawah tanah. Saat ini pemerintah memiliki 9,36 persen atas saham Freeport, maka ada sekitar 20,64 persen lagi yang harus dilepaskan.

Untuk tahap awal, Freeport hanya wajib melepaskan 10,64 persen untuk menggenapi 9,36 persen milik pemerintah sehingga menjadi 20 persen. Sedangkan 10 persen lagi baru akan masuk penawaran pelepasan saham pada 2020. [KRG]