Penjajahan Budaya
Edisi 15 yang terbit pada 18 April 1954 bersampul depan dengan gambar kartun yang disadur dari kartun Walt Disney juga. Gambarnya dua ekor burung yang sama, namun yang satu di atas ranting pohon, yang satu sedang terbang. Cover line-nya: “Tjari Bantuan”.Ada percakapannya pula.
Djalak: Kemana Lu lari-lari, Lik?
Djalik: Mau Tjari bantuan, rumahku…
Djalak: Tjari bantuan, Ko Djauh2, sama tetangga sendiri dong! Emangnja malu ama kelakukan sendiri?
Pada rubrik “Dari Hati ke Hati” halaman 3 juga berkisah surat dari Karmanita tentang Efendi. Judulnya “Rp. 300. 000. 000”.
Karmanita mengungkapkan, pemerintah kekurangan uang. Akibatnya, pemerintah sulit menjalankan kewajibannya, seperti melakukan pembangunan, mengamankan daerah yang mengalami kekacauan, memakmurkan suatu daerah.
Pemerintah kemudian menerbitkan obligasi (meminjam kepada rakyatnya sendiri), dengan total Rp 300.000.000. Bagi Karmanita, kebijakan itu harus didukung. Daripada meminjam dari luar negeri lebih baik mengandalkan kekuatan sendiri.
Rubrik “Putri Remadja” juga menjadikan Jono dan Sri sebagai pengkisah. Kali ini digambarkan Jono kuliah di Fakultas Teknik Bandung dan Sri kuliah di fakultas ekonomi di Makassar mengikuti orang tuanya. Perpisahan ini berat bagi Jono dan terbawa mimpi.
Tulisan berjudul “Mimpi” itu menyinggung ketertinggalan banyak daerah dari segi sumber daya manusia. Di sela waktu kuliahnya, Sri mengajar di sekolah yang didirikan kaum perempuan Kota Makassar.
Sementara itu, pada rubrik “Film”, Garuda memuat artikel “Film dan pengaruhnya”. Dalam artikel itu, penulis menceritakan tentang animo anak muda terhadap film-film yang dibintangi oleh Marlyn Monroe, seperti Niagara, Intermezzo, dan Gentlemen Prefer Blondes. Penulis artikel mengakui publikasi akan Marlyn Monroe memikat remaja untuk datang ke bioskop (halaman 18-19).
Para anak sekolah dengan bundelan buku masuk lebih girang dibanding ruang kelasnya. Padahal film-film itu dinilai menawarkan sex appeal, yang keterlaluan bagi orang Timur, khususnya Indonesia.
Majalah Garuda memberikan gambaran kehidupan remaja yang—nyaris sebangun dengan “Kuntum Melati”—mencari jati dirinya sebagai bangsa Indonesia. Mereka tidak lagi menghadapi penjajahan secara politik dan ekonomi, tetapi secara budaya. [Irvan Sjafari]