Majalah Garuda di Dada Remaja
TIDAK banyak ditemukan media dengan segmen pasar kalangan muda yang mengompromoikan idealisme dan pasar. Di antara yang saya temukan adalah Majalah Mingguan Garuda, terbitan Pustaka Garuda, beralamat di Jalan Gunung Sahari III/1 Jakarta, yang terbit pada pertengahan 1950-an.
Konsep majalah ini tampaknya berupa majalah hiburan, tetapi dengan konten situasi ekonomi dan politik pada masa itu. Penyajian isunya tergolong cukup berat, antara lain menyangkut topik ideologi. Mungkin saja pada masa itu bisa dicerna kaum muda terpelajar.
Ada artikel di majalah Garuda edisi 12 Oktober 1952 berjudul “Musik Dansa”, yang menginformasikan derasnya penjualan piringan hitam dari Barat untuk musik dansa, seperti dari Stan Kenton, Elenn Miller, dan Benny Goodman. Kekuatan musik Barat menawarkan lagu gembira, yang menjadi kekurangan lagu Indonesia masa itu.
Lagu Indonesia dinilai masih sentimenta alias mendayu-dayul. Sekalipun ada yang memikat seperti Nick Mamahit dan Irama Quarzet—yang antara lain membawakan lagu “Kopral Jono”, “Lenggang Jakarta”, dan “Impian Semalam”—musik dan cara pembawaannya mirip seperti musik dan penyanyi Barat.
Media massa yang bernapas nasionalisme harus berpacu melawan publikasi gencar dari dunia hiburan, terutama dari gedung bioskop yang sekaligus menawarkan pelat-pelat untuk gramofon, yang bukan saja berisi musik untuk dansa, tetapi juga jenis mudik hot swing dan samba. Mereka tidak pernah menawarkan pelat nyanyian dari penyanyi Indonesia, Sam Saimun misalnya, yang sangat populer pada masa itu.
Pada awal 1950-an, dansa masih merupakan hal yang kontroversial. Dalam tulisan itu disinggung bagaimana mencari pengganti musik dansa. Namun baru pada akhir 1950-an, pemerintah menawarkan tari “Serampang Dua Belas”. Bahkan, untuk memopulerkan program ini diadakan berbagai lomba. Hanya saja, dansa tetap populer di kalangan kaum muda. Yang sempat menggeser popularitasnya justru rock n’roll dan tari hulahop yang lebih agresif.
Selain mengulas masalah kebudayaan pop, majalah Garuda juga menyinggung situasi sosial politik. Misalnya ada berita tentang ribuan orang berdemonstrasi di tanah partikelir Pamanukan dan barisan sakit hati di Kebayoran (Garuda edisi 3, 17 Januari 1954). Sampul depan majalah ini umumnya berupa kartun, menyadur dari kartun karya Walt Disney secara fisik, tapi kontennya disesuaikan dengan kondisi Indonesia.
Pada edisi 14 tertanggal 11 April 1954 dimuat perbincangan dua ekor burung yang disadur dari karya Walt Disney pada tahun 1952. Judulnya “Komunisme atau Kapitalisme”, yang menyentil situasi masa itu ketika negara berkembang berada di antara hegomoni Blok Barat dan Blok Timur.Berikut petikannya.
Djalak mengatakan: Bagaimana tjuatja hari ini, Bung?
Djelek menjawab: Ada angin dari kanan, dan ada dari kiri.
Lalu Djalak bertanya lagi, “Mana jang baik?”
Djelek menjawab: Dua-duanja bikin kembung perut.
Pada halaman 3 ada rubrik berjudul “Dari Hati ke Hati”, dengan artikel berjudul “Bom Atom”. Bentuknya berupa surat dari Kamanita kepada Effendi.
Dalam surat itu, Kamanita menyebut, kapitalisme hendak menghancurkan komunisme sampai ke akar-akarnya. Komunisme dianggap pengacau dunia, padahal komunisme lahir karena ulah kapitalisme sendiri, yang memiliki watak serakah.
Di sisi lain, Karmanita mengungkapkan, komunisme bertindak seolah-olah menolong si miskin. Tapi, ketika sudah mencapai kekuasaan melalui revolusi, rakyat tidak lagi bicara apa-apa, karena segala hal ditentukan dari atas.
Namun, yang dikhawatirkan Karmanita bukan saja soal Perang Dingin masa itu. Karena, kedua belah pihak punya senjata pamungkas berupa bom atom. Karmanita mendukung upaya Nehru dari India di Perserikatan Bangsa-Bangsa yang menyerukan perlunya larangan pemakaian senjata atom.
Rubrik lain yang menggambarkan kehidupan remaja ada, yaitu “Kebebasan Bergaul” (halaman 14). Dalam rubrik ini ada artikel yang menyajikan ihwal hubungan kasih di antara dua anak SMA lain sekolah, bernama Jono dan Sri. Keduanya kerap menonton film bersama.
Orang tua Sri mulai khawatir karena nilai pelajaran Sri menurun. Waktu belajarnya tersita oleh kegiatannya bersama Jono. Akhirnya, hubungan mereka tetap bisa berjalan, tetapi belajar tetap jalan terus.
Hal yang menarik di sini sudah ada istilah remaja dan anak SMA berpacaran. Namun, pada masa itu, pergaulan masih dalam norma-norma Timur. Media massa tidak menganjurkan hubungan yang sangat bebas.
Gambaran itu mirip dengan film Tiga Dara (1956) karya Usmar Ismail: hubungan antara pemuda dan pemudi hanya sebatas bertandang ke rumah perempuan. Mengajak menonton film waktu itu bagi warga Jakarta, menonton di bioskop Metropole, sudah merupakan aktivitas bergengsi. Begitu juga bermain ke pantai pada akhir pekan.
Ada rubrik yang diberi nama “Ilmu Djiwa”. Artikelnya antara lain berjudul ”Terhadap Jg Tua dan Muda”. Isinya soal kaum muda pada masa itu yang mengenyam pendidikan yang lebih baik, sementara kaum tua masih banyak yang buta huruf. Meskipun demikian, kebodohan orang tua tidak boleh dijadikan alasan oleh anak muda untuk tidak menghormati mereka (halaman 11).
Rubrik “Film” di majalah ini juga ada, yang berisi resensi. Di Garuda edisi 14 dimuat resensi film The Blue Gardenia. Kebetulan, pada saat bersamaan ada lagu yang sedang populer berjudul sama, dinyanyikan Nat King Cole. Kisahnya sendiri tentang seorang gadis yang tersangkut pembunuhan seorang pelukis, dengan cara bertutur penuh humor. Resensi ini, entah kebetulan atau tidak, bersebelahan dengan rubrik “Sejarah Nasional”, yang memuat artikel tentang perkelahian di Kali Progo pada masa perlawanan Pangeran Diponegoro.