Koran Sulindo – Dalam setiap perang, selalu ada dua sisi yang saling berlawanan: pahlawan dan pengkhianat. Sosok Johannes Cornelis Princen, atau yang lebih dikenal sebagai Poncke Princen, adalah salah satu contoh yang menggambarkan betapa tipisnya batas antara kedua peran tersebut.
Princen adalah tentara Belanda yang membelot untuk mendukung perjuangan rakyat Indonesia mempertahankan kemerdekaan setelah proklamasi 17 Agustus 1945.
Latar Belakang Poncke Princen
Dikutip dari laman brabantserfgoed.nl, Poncke Princen lahir di Den Haag, Belanda, pada 21 November 1925. Lahir dalam keluarga Katolik liberal, Princen menempuh pendidikan di seminari pada tahun 1939 hingga 1943 dengan tujuan menjadi pastor misionaris.
Namun, cita-citanya untuk menjadi pastor kandas karena ia merasa sulit menekan hasrat terhadap perempuan. Muda dan penuh semangat kebebasan, Princen kemudian tertarik pada ideologi sosialisme.
Ketika Perang Dunia II pecah, Princen ingin bergabung dengan tentara Sekutu dan pergi ke Inggris pada tahun 1943. Sayangnya, ia tertangkap oleh tentara Nazi Jerman yang telah menduduki Belanda.
Princen dipenjara di berbagai lokasi hingga akhirnya dipindahkan ke Bocholt, Jerman. Di dalam penjara inilah ia mendapat julukan “Poncke,” diambil dari nama seorang tokoh dalam roman karya Jan Eekhout yang kerap dibacanya untuk para tahanan lain.
Perjalanan ke Indonesia
Setelah dibebaskan oleh tentara Sekutu pada Mei 1945, Princen hanya merasakan kebebasan selama beberapa bulan sebelum ia dipanggil untuk wajib militer oleh Kerajaan Belanda ke Indonesia pada Desember 1945.
Menolak untuk ikut serta dalam misi yang ia anggap sebagai bentuk penjajahan, Princen melarikan diri ke Prancis, tetapi kembali tertangkap dan ditahan di kamp Schoonhoven.
Di kamp ini, Princen bertemu dengan Piet van Staveren, seorang komunis yang juga menolak kembalinya Belanda untuk menguasai Indonesia. Pertemuan ini memperkuat keyakinan Princen untuk memperjuangkan kebebasan.
Pada 28 Desember 1946, Princen dan para penolak wajib militer lainnya dikirim ke Indonesia. Setibanya di sana, ia divonis 12 tahun penjara atas penolakannya terhadap wajib militer, tetapi hukumannya kemudian diringankan menjadi empat bulan.
Setelah dibebaskan, Princen kembali ke dinas militer dengan jabatan kopral di Divisi 7 Desember. Di sinilah ia mulai menyaksikan kekejaman tentara Belanda terhadap rakyat Indonesia, yang semakin memperkuat tekadnya untuk membelot.
Bergabung dengan Perjuangan Indonesia
Pada 25 September 1948, Princen mengambil keputusan besar dengan melarikan diri ke Sukabumi dan kemudian menyeberang garis demarkasi menuju Yogyakarta, yang saat itu menjadi pusat perjuangan Indonesia.
Meskipun awalnya ditangkap sebagai tawanan perang, Princen segera dibebaskan dan bergabung dengan pasukan Divisi Siliwangi di bawah komando Kemal Idris. Di sini, ia tidak hanya bertempur melawan pasukan Belanda, tetapi juga menemukan cintanya pada seorang wanita Indonesia bernama Odah, yang kemudian dinikahinya.
Princen menjadi komandan Pasukan Istimewa, yang bertugas melakukan penyergapan dan pengeboman terhadap pasukan Belanda. Keberaniannya dalam medan perang membuat namanya semakin dikenal di kalangan pejuang Indonesia.
Namun, keberadaan Princen akhirnya tercium oleh pimpinan militer Belanda, yang memerintahkan pembunuhannya. Meskipun berhasil meloloskan diri dari serangan yang menewaskan istrinya yang sedang mengandung, Princen terus aktif dalam perang gerilya hingga akhirnya Belanda mengakui kedaulatan Indonesia.
Kontribusi Pasca Kemerdekaan
Setelah kemerdekaan, Princen memilih menjadi warga negara Indonesia dan memeluk Islam. Ia bahkan menunaikan ibadah haji, dan sejak saat itu dikenal dengan nama Haji Johannes Cornelis Princen.
Atas jasa-jasanya, ia dianugerahi penghargaan Bintang Gerilya oleh Presiden Soekarno pada tahun 1949.
Namun, Princen bukanlah sosok yang hanya berdiam diri setelah kemerdekaan. Ia tetap aktif dalam politik dan hak asasi manusia. Pada tahun 1956, ia terpilih sebagai anggota parlemen mewakili Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI).
Namun, kritik kerasnya terhadap pemerintahan Soekarno yang dianggap otoriter membuatnya dipenjara beberapa kali.
Setelah keluar dari penjara pada tahun 1966, Princen mendirikan Lembaga Pembela Hak Asasi Manusia (LPHAM) dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) pada tahun 1980, yang menjadi pionir dalam gerakan pembelaan hak asasi manusia di Indonesia.
Aktivitasnya ini membuatnya kembali masuk bui di era Orde Baru, namun ia tidak pernah berhenti memperjuangkan hak-hak rakyat.
Pada tahun 1992, Princen memperoleh penghargaan dari lembaga internasional atas kontribusinya dalam hak asasi manusia, termasuk peran pentingnya dalam kemerdekaan Timor Timur.
Hingga akhir hayatnya, Princen tetap menjadi sosok yang teguh pada prinsipnya. Bahkan di usianya yang sudah lanjut, ia masih tampak di barisan depan demonstrasi melawan kediktatoran Soeharto pada tahun 1998.
Akhir Kehidupan
Meskipun kehidupan pribadinya berantakan akibat tekanan dari aktivitas politiknya, Poncke Princen tetap setia pada perjuangannya hingga akhir hayat. Ia meninggal dunia pada Februari 2002 di Jakarta pada usia 76 tahun, dan dimakamkan di pemakaman Pondok Kelapa.
Poncke Princen adalah contoh nyata bagaimana seorang “pengkhianat” dalam satu sudut pandang bisa menjadi pahlawan dalam sudut pandang lain, tergantung dari sisi mana sejarah melihatnya. [UN]