Fenomena PON Papua 2021 (2-15 Oktober 2021) sangat menarik di tengah suasana pandemi Covid-19 dan isu HAM yang dilontarkan negara-negara kecil di Samudera Pasifik (Vanuatu, Nauru, Tuvalu, Palau, Marshall Island, dan Solomon Island).
Yang pertama, bagaimana mencegah penularan covid di arena PON yang ramai manusia itu? Pemerintah dan otoritas PON, baik lokal maupun nasional, berupaya mencegahnya dengan berbagai cara. Seperti keharusan vaksinasi dan penerapan protokol kesehatan bagi siapa saja yang masuk ke arena PON — demikian juga harus negatif covid. Misal atlet, panitia, penonton, dan siapapun — mereka harus mematuhi persyaratan ketat untuk mencegah penularan virus corona.
Meski demikian, masih ditemukan orang-orang terpapar Covid-19 yang “lolos” ke arena PON, termasuk atlet. Menurut laporan, sampai Kamis (7/10/021), ada 24 orang yang positif corona di sana. Di antaranya atlet, official, dan wasit. Padahal mereka sebelumnya telah dites dan hasilnya negatif. Ini artinya, mereka tertular sejak “berinteraksi” dengan publik di PON Papua.
Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Tjandra Yoga Aditama meminta agar upaya tracing atau penelusuran kontak ditingkatkan usai temuan kasus Covid-19 di PON Papua. Menurut dia, semua kasus Covid-19 di ajang PON XXI segera dilacak sumber paparannya. Sedangkan bagi mereka yang positif Covid-19 harus ditangani sampai sembuh dan diawasi hingga PON Papua selesai. Tentu saja, meski ada kasus positif di PON, perhelatan olahraga tersebut harus terus tetap berlangsung sampai selesai.
Betul, kasus positif tersebut tetap harus diatasi secara serius tanpa membubarkan acara PON tadi. Masing- masing “pihak” harus tetap berjalan sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing. Tekad pemerintah PON Papua harus berhasil dilaksanakan untuk tujuan yang lebih besar lagi. Selebrasi penegasan Papua sebagai bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tak terpisahkan kepada dunia internasional.
Kedua, di samping kasus Covid-19, kemeriahan PON Papua juga diganggu “enam negara kecil di Pasifik” yang menggugat penerapan HAM di Papua. Mereka di PBB — mengatasnamakan suara etnis Polinesia — etnis yang sama dengan penduduk asli Papua — merasa hak asasi saudara-saudaranya di Papua ditekan Jakarta. Betulkah?
Kalau Vanuatu dan negara lain di Pasifik itu mau melihat kemajuan Papua dalam lima tahun terakhir, niscaya tuduhan tersebut tidak berdasar. Sebab Jakarta kini sangat peduli dengan pembangunan Papua, baik dari sisi sumber daya manusia, sumber daya alam, maupun infrastruktur pendukungnya. Pembangunan Papua dan Papua Barat di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo sangat fenomenal sehingga wajah bumi Cendrawasih mengalami perubahan besar.
Pemerintah membangun jalan raya, jalan desa, membangun pertanian, pariwisata, dan lain-lain. Jakarta telah mendukung kemajuan ekonomi Papua dengan melaksanakan program tol laut, tol udara, dan jembatan udara dalam membangun perekonomian Bumi Cendrawasih. Jangan lupa, penyamaan harga BBM di seluruh Indonesia, termasuk “Irian Jaya” ikut mendongkrak perekonomian Bumi Cendrawasih tersebut. Walhasil, masa depan Papua dan Papua Barat sangat optimis dan menjanjikan.
Pemerintah telah mencanangkan Papua sebagai sentra pangan dan wisata alam Indonesia masa depan. Jika ibu kota Indonesia pindah ke Kalimantan, niscaya ekonomi bumi Cendrawasih akan tumbuh tinggi, mengikuti perkembangan ekonomi di pusat pemerintahan baru tersebut.
PON Papua 2021, karenanya, bukan sekadar perhelatan olah raga semata; tapi juga — seperti dikatakan Presiden Jokowi saat pembukaan 2 Oktober lalu — adalah panggung persatuan, kebersamaan, kesetaraan, dan keadilan untuk maju bersama dalam bingkai Negara NKRI. Percayalah, PON Papua 2021 adalah sebuah langkah besar untuk membuktikan kepada dunia bahwa NKRI adalah negara yang penduduknya multi etnis dan multikultural, yang bersatu dalam wadah Bhinneka Tunggal Ika. [Indra Iskandar]