(Bagian kedua/terakhir. Bagian pertama telah dimuat pada 18 September 2021, pukul 10.00 di sini)

Sementara, hakim menolak gugatan penggugat untuk sebagian dan selebihnya. Menghukum para tergugat untuk membayar perkara sejumlah Rp4,255 juta. Putusan tersebut diputuskan oleh majelis hakim yang terdiri dari Saifudin Zuhri, Duta Baskara, dan Tuty Haryati.

Padahal, bila dicermati sejak awal pandemi hingga saat ini, kondisi polusi udara di Indonesia cenderung menurun. Itu disebabkan kebijakan pemerintah yang menerapkan mulai dari PSBB hingga PPKM saat ini ketimbang selama 20 tahun terakhir.

Itu berdasarkan kajian dari Koordinator Bidang Analisis Perubahan Iklim Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG). Berdasarkan data BMKG, capaian tahun anggaran 2020, Pusat Informasi Perubahan Iklim, Sub Bidang Analisis Komposisi Kimia Atmosfer, menunjukkan perbandingan tingkat polusi udara di Jakarta selama tahun 2020 dibandingkan dengan data pengamatan dari tahun 2000-2019.

Data tersebut dikumpulkan secara manual di sejumlah lokasi di Jakarta, yakni Ancol, Bandengan, Glodok, Kemayoran, Monas, Bivak, Grogol, dan Taman Mini Indonesia Indah (TMII). Data tersebut dikumpulkan seminggu sekali dan belum ada data real time.

Nah, berdasarkan data terakhir yang dihimpun, membuktikan bahwa pada saat penerapan pengurangan mobilitas warga, polutan itu memang berkurang secara signifikan. Itu membandingkannya dengan data historis selama 20 tahun terakhir.

Tetapi data berbeda ditunjukan, berdasarkan data Air Quality Live Index (AQLI). Data dari AQLI kondisi kualitas udara di Indonesia tercatat terus memburuk sejak dua dekade terakhir, dan saat ini berada di peringkat ke-20 negara dengan kualitas udara terburuk di dunia.

Berdasarkan pengamatan AQLI, 91 persen penduduk Indonesia tinggal di wilayah dengan tingkat polusi udara melebihi batas aman yang ditetapkan organisasi kesehatan dunia (WHO).

WHO menetapkan rata-rata konsentrasi per tahun dari polutan udara atau particullate matter (PM2,5) tidak boleh melebihi 10 mikron per meter kubik.

PM2,5 merupakan partikel udara yang berukuran lebih kecil dari 2,5 mikron atau 30 kali lebih kecil dari sehelai rambut manusia. Pada wilayah dengan tingkat polutan tinggi, partikel-partikel ini dapat mengurangi jarak pandang dan mengancam kesehatan manusia.

AQLI mencatat, kota metropolitan Jakarta saat ini memiliki konsentrasi PM2.5 enam kali lipat lebih tinggi dari batas aman WHO. Jika kondisinya terus memburuk, maka 11 juta penduduk Jakarta bisa kehilangan angka harapan hidup selama 5,5 tahun.

Sebaliknya, apabila pemerintah berhasil memperketat kebijakan terhadap tingkat pencemaran udara, maka harapan hidup orang Jakarta bisa meningkat hingga 2 tahun. Konsentrasi PM2,5 tinggi memiliki hubungan sebab akibat dengan kematian dini pada orang yang memiliki penyakit jantung dan paru.

Gejala yang umum timbul akibat PM2.5 ini antara lain batuk-batuk, mulut kering, dan gangguan pernapasan. Bila didiamkan dalam jangka panjang, dapat berdampak menurunnya angka harapan hidup karena keganasan paru dan penyakit paru obstruktif kronis. Bahaya dari PM2,5 dan timbal juga dapat menempel di pakaian dan terbawa ke dalam rumah.

 

DKI Hormati dan Siap Jalankan Putusan

Dari hasil putusan itu, Pemerintah DKI Jakarta siap menjalankan hasil putusan majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Bahkan, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan pun mengapresiasi 32 warga DKI Jakarta, Jawa Barat, dan Banten yang mengambil langkah mengajukan gugatan kualitas udara terhadap pemerintah, karena para warga negara sedang menjalankan kewajiban berbangsa dan bernegara, sesuai UUD 1945 terkait hak atas lingkungan hidup yang sehat.

Itu juga, dianggap Anies sejalan dengan Pemprov DKI Jakarta yang memiliki visi untuk menyediakan udara bersih, yang merupakan hak dasar bagi setiap warga yang tinggal di Ibu Kota.

Tapi demikian, kata Anies untuk percepatan pelaksanaan pengendalian kualitas udara di Jakarta diperlukan pendekatan multi sector yang memperketat pengendalian sumber pencemaran udara, mendorong peralihan gaya hidup masyarakat dan mengoptimalkan fungsi penghijauan, sehingga memerlukan sinergitas antar berbagai pemangku kepentingan.

Nah, khusus penanggulangan pencemaran udara di Ibu Kota, Pemprov DKI Jakarta telah mengeluarkan Instruksi Gubernur No. 66/2019 tentang Pengendalian Kualitas Udara sebagai quick wins untuk menyelesaikan masalah pencemaran udara, bahkan sebelum proses sidang dimulai.

Salah satu poin dalam Ingub Nomor 66/2019 adalah Pemprov DKI Jakarta ingin memastikan tidak ada angkutan umum yang berusia di atas 10 tahun dan tidak lulus uji emisi yang beroperasi di jalan, dan penyelesaian peremajaan seluruh angkutan umum melalui program JakLingko pada 2020, dan hal itu sesuai amar keputusan Majelis Hakim poin 1A.

Sejak Ingub tersebut diberlakukan, maka perbaikan kualitas udara di Ibu Kota mulai dirasakan. Tak hanya itu, Pemprov DKI juga menempuh upaya lain untuk percepatan penanganan pencemaran udara di Ibu Kota, salah satunya dengan mendorong partisipasi warga dalam pengendalian kualitas udara melalui perluasan kebijakan ganjil genap.

Kemudian, juga mendorong peralihan ke moda transportasi umum, dan meningkatkan kenyamanan berjalan kaki melalui percepatan pembangunan fasilitas pejalan kaki di ruas jalan protokol, arteri, dan penghubung ke moda transportasi pada 2020. [WIS]

(Selesai. Bagian pertama dapat dilihat di sini)

Baca juga: