Koran Sulindo – Tawuran antar-pelajar atau perkelahian anak di bawah umur kerap menimbulkan korban jiwa. Ahmad Fauzan (18 tahun), pelajar SMK Sasmita Jaya, Pamulang, Tangerang Selatan-Banten, misalnya, meninggal dunia setelah wajahnya tertusuk pedang, awal Agustus 2018.

Menurut Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Brigjen Mohammad Iqbal, para pelaku tawuran juga sebenarnya merupakan korban. Meski tawuran merupakan suatu tindakan melawan hukum, ungkap Iqbal, tawuran bukan terjadi tanpa alasan.

Penyebab utamanya  adalah ketidakpedulian masyarakat terhadap lingkungan sekitarnya. “Mereka adalah korban, korban ketidakpedulian lingkungannya,” kata Iqbal dalam sebuah diskusi di Markas Besar Polri, Jakarta, Kamis (9/8).

Ada ribuan anak di Indonesia yang harus berhadapan dengan hukum, lanjutnya, karena aksi tawuran. Banyak di antara para pelaku tawuran itu kemudian mendapatkan perlakuan khusus karena masih di bawah umur. Pelaku kejahatan dengan ancaman hukuman di bawah tujuh tahun akan mendapatkan diskresi.

Kendati demikian, menurut Iqbal lagi, bagaimanapun proses hukum tetap harus berjalan. Apalagi, dalam tawuran atau perkelahian ada yang sampai menghilangkan nyawa, seperti yang terjadi di Tangerang Selatan itu. “Tetap kami proses hukum karena ada efek deteren. Ini negara hukum,” ucapnya.

Ia menjamin, kepolisian akan selalu hadir dalam kejadian tawuran dan juga di titik-titik yang berpotensi terjadinya tawuran. Namun, yang diharapkan, tawuran tidak sampai terjadi dan itu bisa diwujudkan dengan peran serta masyarakat. “Kami tidak akan maksimal melakukan itu. Reaktif itu tidak akan maksimal. Jadi, yang paling maksimal adalah proaktif peran masyarakat sekitar,” kata Iqbal.

Dalam kesempatan yang sama, kriminolog Universitas Indonesia Ronny Nitibaskara menilai, banyak pandangan dan anggapan pelaku tawuran berasal dari sekolah berkualitas buruk dan latar belakang keluarga yang berantakan. Padahal, variabel-variabel itu tidak berhubungan dengan tawuran. “Banyak siswa baik dan cerdas juga tawuran,” katanya.

Pelajar dan masyarakat, termasuk orang tua, juga memiliki pandangan yang berbeda tentang tawuran. Menurut pelajar, kekerasan yang dilakukan bersifat simbolis dan merupakan aspirasi karena sering diperlakukan tidak adil. “Mereka berusaha mengidentifikasi diri sebagai remaja yang berbeda dari orang sekitarnya,” ujar Ronny.

Namun, di sisi lain, masyarakat memandang tawuran sebagai suatu kejahatan dan tindak pidana.

Karena itu, menurut Ronny, perlu peninjauan kembali jerat hukum yang menimpa pelajar pelaku tawuran. Tawuran dalam KUHP dimasukkan dalam pasal 170 yang tidak mengenal tanggung jawab kolektif, melainkan hanya perorangan. Padahal, menjatuhkan sanksi merata kepada semua peserta tawuran akan sangat sulit.

“Karena itu, melihat tawuran yang rumit dan khas perlu suatu tindakan yang bersumber dari peranti hukum pidana berupa sanksi yang mendidik, adil, dan efektif terhadap mereka,” kata Ronny.

Ketua Lembaga Perlindungan Anak Indonesia Seto Mulyadi pun punya pandangan senada. Menurut dia, warga sekitar memang memegang peran penting untuk mencegah terjadinya tawuran.”Mendidik anak perlu orang sekampung, libatkan warga sekitarnya,” ujar pria yang karib disapa Kak Seto ini.

Seiring dengan itu, Kak Seto meminta polisi hadir di tengah masyarakat dalam kondisi yang bersahabat. Polisi bukan hanya sebagai penindak pelaku tawuran, tetapi berperan juga dalam melakukan pencegahan. “Polisi sebaiknya sering datang dengan situasi persahabatan, beri sosialisasi. Sekarang kan yang sering terjadi seperti petugas pemadam kebakaran saja, setelah terjadi baru dipadamkan,” tuturnya. [YMA]