Koran Sulindo – Polri mendesak Kejaksaan Agung sebagai pihak eksekutor untuk melaksanakan secepatnya eksekusi mati terhadap bandar narkoba yang sudah mendapatkan hukuman tetap. Para narapidana tersebut masih melaksanakan kiprahnya dari balik jeruji lembaga pemasyarakatan.
“Saya minta segera laksanakan eksekusi hukuman mati sehingga ada efek jera dan ada pesan moral, kita enggak main main perang kejahatan narkotika karena musuh bersama semua negara,” kata Direktur Tindak Pidana Narkoba Bareskrim Polri, Brigjen Eko Daniyanto, di kantornya, Cawang, Jakarta Timur, Jumat (2/11/2018).
Menurut Eko, kejaksaan belum berkomunikasi dengan Kementerian Hukum dan HAM. Sebab, peninjauan kembali (PK) yang dilakukan oleh narapidana yang divonis mati itu tergantung oleh Kemenkumham.
“PK diterima atau tidak, tergantung Kemenkumham. Kalau Kemenkumham tidak mengizinkan maka tugas jaksa mengekseskusi,” tegasnya.
Selain itu, menurutnya perlu ada revisi aturan mengenai berapa lama hak napi yang divonis mati itu mengajukan PK.
“Tiga bulan saja. Setelah vonis tiga bulan saja jangan setahun. Kalau setahun dia ngajuin tiga bulan terakhir. Ini kan bersamaan dengan lainnya sehingga terjadi penguluran waktu,” imbuh jenderal bintang satu itu.
Eko mengatakan eksekusi mati napi kasus narkoba harus dilakukan, meski akan ada kecaman dari negara-negara lain. Pasalnya hampir 97 persen peredaran gelap narkoba dikendalikan dari Lembaga Pemasyarakatan (LP).
“Kita harus tegas lindungi masyarakat dari narkotika. Kemenkumham berani menolak PK maka saya yakin berkurang. Misal 50 persen udah dieksekusi mati kita lihat berapa LP dan narkotika yang masuk ke Indonesia pasti akan turun,” kata Eko.
Terakhir kali Kejagung melakukan eksekusi mati dua tahun lalu, tepatnya Jumat 29 Juli 2016. Empat napi dieksekusi di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Mereka adalah Humprey Jefferson warga Nigeria, Seck Osmane dari Senegal, Michael Titus Igweh asal Nigeria dan Freddy Budiman warga Indonesia. [YMA]