Pollycarpus Bebas, Jadi Siapa Kriminal Sesungguhnya Pembunuh Munir?

Suciwati dalam aksi menuntut keadilan atas pembunuhan terhadap suaminya.

Koran Sulindo – Pollycarpus Budihari Priyanto, terpidana kasus pembunuhan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM) Munir Said Thalib, pada Rabu ini (29/8) dinyatakan bebas murni. Informasi ini disampaikan Kepala Bagian Hubungan Masyarakat Direktorat Jendral Permasyarakatan (Dirjen PAS) Ade Kusmanto. “Tanggal 29 Agustus 2018, hari Rabu, pihak Balai Pemasyarakatan Bandung akan mengakhiri masa bimbingan kliennya atas nama Pollycarpus karena telah menjalani masa percobaan dan pembebasan bersyarat dengan baik,” kata Ade, Selasa (28/8).

Pollycarpus adalah mantan pilot Garuda untuk pesawat Airbus A-330. Saat kematian Munir di pesawat Garuda dengan nomor penerbangan GA-974, Pollycarpus  berstatus sebagai personel keamanan internal.

Ia diputuskan bersalah terlibat pembunuhan Munir oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta yang diketuai Tjitjut Sutiyarso pada 19 Desember 2005. Juga dinyatakan terbukti melakukan pemalsuan surat. Pollycarpus divonis 14 tahun  penjara. Sementara itu, tuntutan jaksa adalah hukuman seumur hidup.

“Menghukum terdakwa Polycarpus dengan hukuman 14 tahun, dipotong masa tahanan,” kata Ketua Majelis Hakim Tjitjut Sutiyarso.

Pada tingkat kasasi di Mahkamah Agung (MA), majelis hakim kasasi memutuskan Pollycarpus tidak bersalah dalam kasus pembunuhan Munir. Dia bersalah dalam kasus pemalsuan surat.

Pihak Kejaksaan Agung sebagai pengacara negara kemudian mengajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) ke MA. PK itu dikabulkan dan MA memutuskan menghukum Pollycarpus dengan hukuman 20 tahun penjara. “Saya sudah terima laporannya, putusan PK Polly sudah dijatuhkan hukumannya 20 tahun, dia kena dakwaan primernya,” kata Ketua Tim Peninjauan Kembali Pollycarpus yang juga Jaksa Agung Muda Umum, Abdul Hakim Ritongan, 25 Januari 2008 lampau, seperti dikutip banyak media.

Pada November 2014 silam, Pollycarpus dinyatakan bebas bersyarat. Menurut Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasona Laoly ketika itu, Pollycarpus harusnya sudah menjalani bebas bersyarat pada masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. “Tak bisa saat itu karena proses PK-nya belum selesai,” kata Yasona, 30 November 2014, seperti dikutip banyak media.

Pollycarpus selalu mendapatkan remisi atau pemotongan masa penahanan karena berkelakuan baik selama di tahanan. Remisinya juga ditambah saat perayaan kemerdekaan dan perayaan agama Natal. Total remisinya 51 bulan 80 hari. Dan, menurut Ade, selama dinyatakan bebas bersyarat, Pollycarpus rutin melakukan wajib lapor ke Balai Permasyarakatan Bandung.

“Menurut data dari petugas pembimbingan kemasyarakatan pada kantor Balai Pemasyarakatan Bandung, dia 23 kali lapor,” tutur Ade. Selain itu, selama masa pembebasan bersyarat tidak ada laporan pelanggaran hukum, perbuatan yang meresahkan masyarakat, atau perbuatan tidak terpuji yang dilakukan Pollycarpus.

Namun, sampai sekarang sebenarnya belum terkuak, apa motif pembunuhan tersebut. Munir dibunuh dengan racun arsenik dalam perjalanannya menuju ke Belanda untuk melanjutkan studinya ke Utrecht Universiteit, 7 September 2004.

Publik pun kemudian hanya bisa menduga-duga, karena melihat ada sejumlah kejanggalan dalam upaya mencari pembunuh Munir. Ada yang menduga Munir dibunuh karena memegang data penting seputar pelanggaran hak asasi manusia, seperti pembantaian warga di Talang Sari-Lampung pada tahun 1989, penculikan aktivis 1998, referendum Timor Timur, hingga kampanye hitam pemilihan presiden tahun 2004.MANTAN Direktur Bidang Perencanaan dan Pengendalian Operasi Badan Intelijen Negara (BIN) Kolonel Budi Santoso pada 2014 lalu pernah mengatakan, ada rapat internal lembaganya membahas Munir. Dalam rapat itu, seperti diungkapkan Budi, Munir disebut akan menjual negara dengan data-datanya yang ia bawa ke Belanda. “Hendropriyono meminta upaya Munir itu dicegah,” tutur Budi dalam kesaksianya yang direkam dan disaksikan wartawan Tempo pada 2014 lalu.

Namun, Kepala BIN 2001-2004 Jenderal (Purn.) A.M Hendropriyono menyangkal lembaga yang ia pimpin mengincar Munir. “Munir bukan orang yang membahayakan,” tuturnya.

Istri Munir, Suciwati, juga menyangkal dugaan ini. Menurut Suciwati, dirinya telah memeriksa laptop yang dibawa suaminya sebelum berangkat. “Ketika dikembalikan setelah meninggal, saya periksa isinya sama, tak ada data penting,” tuturnya, sebagaimana dikutip Tempo. “Dokumen penting itu, ya, Munir sendiri. Dia dokumen hidup.”

Namun, Suciwati mengatakan, setelah kematian Munir, Deputi VII Bidang Teknologi dan Informasi BIN Bijah Subiyanto memberitahu dirinya secara samar soal motif pembunuhan tersebut. “Coba periksa kasus-kasus besar yang ditangani almarhum sebelum pergi,” kata Bijah sebagaimana diceritakan Suciwati.

Bijah kemudian dikabarkan meninggal dunia pada 1 Juli 2009 di Cina, tanpa ada keterangan yang meyakinkan soal penyebab kematiannya. Suciwati sendiri mengaku, Bijah secara rutin menghubungi dirinya setelah kematian Munir. “Tiap Lebaran dia mengirim SMS meminta maaf,” ujar Suciwati.

Ada pula yang menduga pembunuhan Munir tersebut terkait dengan pemberantasan terorisme yang pada tahun 2004, yang menjadi agenda nasional, karena Indonesia menjadi bagian dari program “War on Terror” yang diprakarsai Amerika Serikat setelah serangan 11 September 2001. Munir adalah aktivis hak asasi yang bersikap kritis terhadap program itu dan sering mempertanyakan metoda Detasemen Antiteror dan BIN dalam menangkap para pelaku teror tanpa mempertimbangkan hak asasi.

Pollycarpus sendiri, dikabarkan, setelah menunaikan misinya membunuh Munir, melaporkan operasinya ke Budi Santoso. “Dia bilang mendapat ikan besar di Singapura,” ungkap Budi dalam rekaman kesaksiannya kepada penyidik di Kualalumpur, Malaysia, 7 Mei 2008.

Kesaksian itu diberikan Budi di luar negeri karena dirinya mendapat informasi akan “dihabisi”. Setelah kasus pembunuhan Munir diketahui publik, Budi memang langsung dipindahkan ke Kedutaan Indonesia di Pakistan. Tugasnya: mengawasi mahasiswa Indonesia untuk mencegah paham radikal berkembang di kampus.POLISI mencatat, Pollycarpus menelepon Budi Santoso pada 7 September 2004 pukul 10.47. Setelah Pollycarpus lapor, Budi pun bertanya, “Apakah sudah melapor ke Pak Muchdi? Dia menjawab, sudah.”

Yang dimaksud Muchdi itu adalah Muchdi Purworprandjono, Deputi V Bidang Penggalangan BIN, atasa Budi Santoso. Muchdi sempat diadili dan divonis bebas oleh hakim karena jaksa tak menghadirkan Budi dalam kesaksian jarak jauh. Hakim juga menolak berita acara pemeriksaannya di polisi karena pengacara Muchdi menunjukkan surat pencabutan kesaksian yang diklaim ditulis dan dikirim Budi dari Pakistan.

Kesaksian Budi Santoso juga disangkal Pollycarpus. Ia menyebut kesaksian itu rekayasa untuk menghukum dirinya.

Apakah Pollycarpus adalah agen BIN? “Tanya BIN saja. Kalau saya bilang iya, nanti disangkal BIN. Kalau saya bilang tidak, nanti dibenarkan BIN. Iya, kan?” katanya di Lembaga Pemasyarakat Sukamiskin, Bandung, November 2014

Dalam pengakuannya kepada penyidik pada Mei 2008, Budi Santoso juga mengatakan, biaya untuk operasi pembunuhan Munir itu Rp 14 juta. Ia mengaku menandatangani surat pencairan anggarannya pada 14 Juni 2004, tiga bulan sebelum kematian Munir. “Sumbernya dari dana taktis bulanan Deputi Penggalangan,” katanya.

Namun, soal ini pun disangkal Hendropriyono. Menurut dia, BIN tak pernah membuat laporan operasi-operasi senyap yang mereka lakukan. “Kecuali laporan keuangan,” katanya. Karena, anggaran operasional BIN diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang mesti dipertanggungjawabkan.

Setelah biaya operasional itu cair, menurut Budi Santoso, Pollycarpus rutin melaporkan kegiatannya kepada dirinya. “Setiap kali mau terbang, ia selalu menelepon saya,” ujar Budi.

Dan, kini, Pollycarpus telah bebas. Namun, motif pembunuhan Munir masih saja belum jelas. Tak jelas pula siapa sesungguhnya dalang pembunuhan. Dengan melihat kasus Munir ini saja, tak salah kiranya bila ada yang mengatakan negara ini sesungguhnya telah dibajak oleh para kriminal dan pelaku kejahatan hak asasi manusia. Kalau memang benar begitu, negara ini telah dibajak, itu artinya soal legitimasi bahwa Indonesia adalah negara hukum tak lebih dari sekadar pepesan kosong. Lalu, untuk apa para pahlawan berjuangan dan mengorbankan nyawanya untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan? [PUR]