POLISI mencatat, Pollycarpus menelepon Budi Santoso pada 7 September 2004 pukul 10.47. Setelah Pollycarpus lapor, Budi pun bertanya, “Apakah sudah melapor ke Pak Muchdi? Dia menjawab, sudah.”
Yang dimaksud Muchdi itu adalah Muchdi Purworprandjono, Deputi V Bidang Penggalangan BIN, atasa Budi Santoso. Muchdi sempat diadili dan divonis bebas oleh hakim karena jaksa tak menghadirkan Budi dalam kesaksian jarak jauh. Hakim juga menolak berita acara pemeriksaannya di polisi karena pengacara Muchdi menunjukkan surat pencabutan kesaksian yang diklaim ditulis dan dikirim Budi dari Pakistan.
Kesaksian Budi Santoso juga disangkal Pollycarpus. Ia menyebut kesaksian itu rekayasa untuk menghukum dirinya.
Apakah Pollycarpus adalah agen BIN? “Tanya BIN saja. Kalau saya bilang iya, nanti disangkal BIN. Kalau saya bilang tidak, nanti dibenarkan BIN. Iya, kan?” katanya di Lembaga Pemasyarakat Sukamiskin, Bandung, November 2014
Dalam pengakuannya kepada penyidik pada Mei 2008, Budi Santoso juga mengatakan, biaya untuk operasi pembunuhan Munir itu Rp 14 juta. Ia mengaku menandatangani surat pencairan anggarannya pada 14 Juni 2004, tiga bulan sebelum kematian Munir. “Sumbernya dari dana taktis bulanan Deputi Penggalangan,” katanya.
Namun, soal ini pun disangkal Hendropriyono. Menurut dia, BIN tak pernah membuat laporan operasi-operasi senyap yang mereka lakukan. “Kecuali laporan keuangan,” katanya. Karena, anggaran operasional BIN diambil dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara yang mesti dipertanggungjawabkan.
Setelah biaya operasional itu cair, menurut Budi Santoso, Pollycarpus rutin melaporkan kegiatannya kepada dirinya. “Setiap kali mau terbang, ia selalu menelepon saya,” ujar Budi.
Dan, kini, Pollycarpus telah bebas. Namun, motif pembunuhan Munir masih saja belum jelas. Tak jelas pula siapa sesungguhnya dalang pembunuhan. Dengan melihat kasus Munir ini saja, tak salah kiranya bila ada yang mengatakan negara ini sesungguhnya telah dibajak oleh para kriminal dan pelaku kejahatan hak asasi manusia. Kalau memang benar begitu, negara ini telah dibajak, itu artinya soal legitimasi bahwa Indonesia adalah negara hukum tak lebih dari sekadar pepesan kosong. Lalu, untuk apa para pahlawan berjuangan dan mengorbankan nyawanya untuk merebut dan mempertahankan kemerdekaan? [PUR]