MANTAN Direktur Bidang Perencanaan dan Pengendalian Operasi Badan Intelijen Negara (BIN) Kolonel Budi Santoso pada 2014 lalu pernah mengatakan, ada rapat internal lembaganya membahas Munir. Dalam rapat itu, seperti diungkapkan Budi, Munir disebut akan menjual negara dengan data-datanya yang ia bawa ke Belanda. “Hendropriyono meminta upaya Munir itu dicegah,” tutur Budi dalam kesaksianya yang direkam dan disaksikan wartawan Tempo pada 2014 lalu.
Namun, Kepala BIN 2001-2004 Jenderal (Purn.) A.M Hendropriyono menyangkal lembaga yang ia pimpin mengincar Munir. “Munir bukan orang yang membahayakan,” tuturnya.
Istri Munir, Suciwati, juga menyangkal dugaan ini. Menurut Suciwati, dirinya telah memeriksa laptop yang dibawa suaminya sebelum berangkat. “Ketika dikembalikan setelah meninggal, saya periksa isinya sama, tak ada data penting,” tuturnya, sebagaimana dikutip Tempo. “Dokumen penting itu, ya, Munir sendiri. Dia dokumen hidup.”
Namun, Suciwati mengatakan, setelah kematian Munir, Deputi VII Bidang Teknologi dan Informasi BIN Bijah Subiyanto memberitahu dirinya secara samar soal motif pembunuhan tersebut. “Coba periksa kasus-kasus besar yang ditangani almarhum sebelum pergi,” kata Bijah sebagaimana diceritakan Suciwati.
Bijah kemudian dikabarkan meninggal dunia pada 1 Juli 2009 di Cina, tanpa ada keterangan yang meyakinkan soal penyebab kematiannya. Suciwati sendiri mengaku, Bijah secara rutin menghubungi dirinya setelah kematian Munir. “Tiap Lebaran dia mengirim SMS meminta maaf,” ujar Suciwati.
Ada pula yang menduga pembunuhan Munir tersebut terkait dengan pemberantasan terorisme yang pada tahun 2004, yang menjadi agenda nasional, karena Indonesia menjadi bagian dari program “War on Terror” yang diprakarsai Amerika Serikat setelah serangan 11 September 2001. Munir adalah aktivis hak asasi yang bersikap kritis terhadap program itu dan sering mempertanyakan metoda Detasemen Antiteror dan BIN dalam menangkap para pelaku teror tanpa mempertimbangkan hak asasi.
Pollycarpus sendiri, dikabarkan, setelah menunaikan misinya membunuh Munir, melaporkan operasinya ke Budi Santoso. “Dia bilang mendapat ikan besar di Singapura,” ungkap Budi dalam rekaman kesaksiannya kepada penyidik di Kualalumpur, Malaysia, 7 Mei 2008.
Kesaksian itu diberikan Budi di luar negeri karena dirinya mendapat informasi akan “dihabisi”. Setelah kasus pembunuhan Munir diketahui publik, Budi memang langsung dipindahkan ke Kedutaan Indonesia di Pakistan. Tugasnya: mengawasi mahasiswa Indonesia untuk mencegah paham radikal berkembang di kampus.