Koran Sulindo – Target penerimaan dari pengampunan pajak (tax amnesty) hanya Rp 165 triliun. Padahal, harta kekayaan warga negara Indonesia di luar negeri mencapai lebih dari Rp 11.000 triliun. Jadi, target tersebut sangat kecil. Itu sebabnya, anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDI Perjuangan Rieke Diah Pitaloka keberatan atas Rancangan Undang-Undang Pengampunan Pajak.

“Rp 11 sekian triliun dipotong 30 persen wajib pajak itu sekitar Rp 3.500 triliun. Saya tidak paham bagaimana Rp 3.500 triliun lalu yang masuk hanya Rp 165 triliun? Sisanya di mana?” kata Rieke di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (28/6).

Dirinya pun tidak bersepakat atas persetujuan yang diambil dari kesepakatan tax amnesty. Karena, pembahasannya terlalu cepat, juga pengambilan keputusan soal undang-undangnya. “Saya pernah di Baleg DPR pada periode lalu. Ini pembahasanya terlalu cepat banget. Masa 17 hari dari satu hotel ke hotel lainnya dan bersifat tertutup semua? Yang terbuka hanya kemarin di Komisi XI,” ujarnya.

Namun, ia mengatakan, dirinya tetap mendukung gerakan Presiden Jokowi. ”Dan kalau memang mau memiliki undang-undang tentang pengampunan pajak, mari kita buat undang-undang pengampunan pajak yang publik bisa mengetahui prosesnya,” tuturnya.

Sebelumnya, lewat akun Twitter-nya, @rieke_diah, Rieke juga sudah menyatakan keberatannya atas undang-undang tersebut. “Undang-Undang Pengampunan Pajak, menurut Anda, benarkah rakyat yang paling diuntungkan? Prinsip dasar: keadilan dalam menegakkan hukum perpajakan bagi semua rakyat. Jangan yang kecil diuber, yang kakap diampuni. Pinsip kedua: kepastian hukum yang berkeadilan. Bagaimana ada kepastian hukum yang adil jika bahasnya saja tertutup. Percaya? Prinsip ketiga: kemanfaatan harus buat rakyat dan negara. Katanya potensi 11.000 triliun, dipatok sebelum undang-undang disahkan cuma 165 triliun. Percaya? Prinsip keempat: kepentingan nasional. Katanya punya data by name-by address, termasuk yang di PanamaPapers. Saran: diburu saja,” tulis Rieke dalam beberapa kali twit-nya, dengan sedikit penyuntingan agar memudah pembaca, mengingat ruang di Twitter dibatasi.

Ia juga menjelaskan, automatic exchange of information (AoeI) atau sistem pertukaran informasi otomatis antar-negara untuk melacak potensi pajak di luar negeri mulai berlaku 2017, dengan menggunakan common reporting standard (CRS), yang ditandatangani pemerintah Indonesia pada 3 Juni 2015 lalu. Dengan telah menyepakati AEoI dengan skema CRS berlaku mulai 2017, Indonesia menerima akses otomatis informasi keuangan nasabah penduduk Indonesia yang punya rekening keuangan di negara mana pun.

Dengan begitu, kata Rieke lagi, tidak ada yang bisa menyembunyikan hartanya dengan tidak membayar pajak, termasuk dalam bentuk offshore seperti PanamaPapers. Tahun 2017 mulai dijalankan kesepakatan internasional “keadilan pajak dunia”. Pajak harus kembali ke negara masing-masing. PemerintahIndonesia sudah tandatangan AEoI dengan skemaCRS di 2017, potensi Rp 11.000 triliun bisa masuk kas negara. “Buat apa tax amnesty? Jadi, Undang-Undang Pengampunan Pajak lindungi kepentingan nasional atau pengemplang pajak dari gerakan internasional ‘keadilan pajak dunia’ 2017?” tulis Rieke dalam beberapa twit-nya.

Jika alasannya untuk menyelamatkan APBN-P 2016 karena kas negara cekak, lanjutnya, kok malah kas negara buat menyuntik BUMN. “Jika alasannya untuk selamatkan APBN-P 2016, kok, periode pengampunan meminta sampai Maret 2017? Tahun 2016 terakhir bulan Desember 2016,” kata Rieke lagi.

Jika Anda ingin mengetahui soal AEoI dan CRC, silakan buka situs kemenkeu.go.id. terkait penandatanganan multilateral competent authority agreement. [PUR]