(gambar ilustrasi sumber: redaksiindonesia.com)

koransulindo.com – Saudaraku, dasar mengada politik itu budaya kota (polis, madina). Warga kota (negara) menunjukkan rasa memiliki dan mencintai kota dan republiknya; bukan sekadar penduduk yang numpang tidur dan cari makan. Mereka aktif terlibat, bergerak, berbaur dengan keragaman di ruang publik—tak malas gerak dan terisolasi di bungker identitas masing2.

Demi keterlibatan positif dan produktif di ruang publik, warga dituntut memiliki kecerdasan. Bukan sekadar kecerdasan personal, tetapi terutama ”kecerdasan kewargaan” (civic intelligence): kompeten mengemban tugas kewargaan, memahami kewajiban dan hak warga, mampu menempatkan keunggulan pribadi dalam harmoni-kemajuan bersama, bisa mencari titik temu dalam perbedaan, dan memenuhi panggilan keterlibatan dalam urusan publik. Orang Athena menyebut mereka yang tak memiliki komitmen dan kecerdasan dalam urusan publik sebagai idiotes. Dari sanalah asal kata ”idiot” utk menyebut keterbelakangan mental.

Untuk itu, perlu diciptakan iklim kebebasan berbicara, berkumpul, dan mengembangkan diri. Kebebasan juga memberi ruang toleransi yang memungkinkan berkembangnya kesediaan mengapresiasi pendapat dan karya orang lain.

Corak politik sangat menentukan. Demokrasi prosedural yang berhenti sebatas ritual pemilihan padat modal dengan gonta-ganti peraturan dan desain kelembagaan politik, tidak memiliki signifikansi bagi kecerdasan dan kreativitas kewargaan.

Eric Weiner (2016) menengarai, tidak ada korelasi antara era keemasan kenegaraan dan demokrasi. Substansi yang perlu dihadirkan adalah kebebasan kreatif, bukan demokrasi semata. Tiongkok tidak memiliki demokrasi, tetapi memiliki autokrat tercerahkan yang memberi ruang kreatif bagi warga untuk mengembangkan potensi diri dan memenuhi tugas kewargaan.

Demokrasi sejati mestinya mengandung iklim kebebasan lebih luas dan sehat. Dalam demokrasi sungguhan, kota-kota kreatif bersitumbuh menjadi magnet berkumpulnya orang-orang kreatif, jenius, eksentrik, dan visioner dengan semangat menghormati nalar dan moral publik.

Di kota (negara) seperti itu, budaya literasi kuat. Spirit solidaritas dan cinta Tanah Air jadi kebajikan kewargaan. Pemimpin jadi penuntun. Warga jadi garda Republik.***

 

Baca juga: