Koran Sulindo – Boleh jadi publik saat ini mempersepsi politik dalam perspektif negatif. Bahkan, frasa politik itu sendiripun mungkin merupakan sesuatu yang dianggap buruk, setidaknya dari kacamata masyarakat. Politik terlanjur dimaknai sebagai medan permainan yang ditandai oleh perilaku culas dan penuh tipu daya.
Padahal, manusia dan politik merupakan dua jenis entitas yang tidak dapat dipisahkan. Politik adalah sebuah tindakan yang hanya bisa dilakukan oleh mahluk yang bernama manusia. Dalam kerangka inilah kita seharusnya memahami secara tepat terhadap apa yang oleh filsuf Yunani, Aristoteles, didefinisikan sebagai zoon politikon—manusia adalah binatang yang berpolitik.
Dalam karya legendarisnya, Politics, Aristoteles menggariskan tentang posisi manusia terkait dengan penyelenggaraan kekuasaan (baca: berpolitik) demi mencapai kemaslahatan publik atau res publica. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara manusia dan jenis makhluk lain (baca: hewan) yang tidak memiliki kapasitas berpolitik.
Untuk meraih tujuan hidupnya, hewan mengandalkan cara-cara di luar kualitas manusia. Oleh karena itu, manusia secara etis dituntut untuk membuktikan bahwa dirinya berbeda dengan jenis mahluk lain. Berpolitik, dengan demikian, justru merupakan tindakan yang menandai garis pembeda dari kedua jenis mahluk tersebut. Atas dasar itu, kita dapat memahami sepenuhnya mengapa Aristoteles menempatkan kata politikon di belakang kata zoon.
Bertolak dari pengertian di atas, maka berpolitik adalah suatu ciri peradaban manusia. Oleh karena itu, politik, pada dirinya, tertanam hakikat kemanusiaan universal. Ini berarti bahwa berpolitik ditujukan untuk mempertinggi kemuliaan dan harkat manusia, bukan sebaliknya.
Dengan demikian, dalam perspektif Aristotelian, tindakan politik bermakna sejauh ia menjadi sarana manusia untuk mewujudkan kemanusiaannya. Politik akan kehilangan nilai profetiknya jika ia tidak berada dalam koridor nilai tersebut. Dalam kerangka inilah pengertian zoon politikon diletakkan.
Munculnya persepsi semacam ini tentu saja bukan kesalahan masyarakat. Para elite politik agaknya merupakan pihak yang harus bertanggung jawab atas terjadinya kesalahkaprahan ini. Apa yang terjadi sesungguhnya adalah praktik-praktik yang tidak etis yang menggunakan sarana dan lembaga-lembaga politik. Ini berarti bahwa beberapa institusi dan proses politik sedemikian rupa telah dipelintir sehingga semakin menjauh dari tujuan dasarnya.
Res Publica dan Manifesto Politik
Patut disayangkan jika perpolitikan di Tanah Air dewasa ini ini tidak berada di dalam makna etisnya. Hubungan komunikasi antar-para politisi, misalnya, tidak dibangun atas dasar kontestasi argumentasi yang dituntun oleh visi, melainkan diwarnai oleh saling cerca dan ancam. Perdebatan bermutu menyangkut pencarian berbagai kemungkinan mencapai kemaslahatan publik, sebagaimana yang terjadi pada era Demokrasi Parlementer—sekalipun muncul beberapa akses negatif karena berlangsung secara bertele-tele—tidak lagi dapat dijumpai saat ini.
Kondisi semacam ini mengakibatkan politik menjadi korban stigma dan salah kaprah. Saat ini masyarakat awam tidak lagi dapat membedakan antara tindakan tipu daya dan tindakan politik. Keduanya telanjur dianggap identik. Politik adalah tipu daya, tipu daya adalah politik. Padahal, berbagai bentuk perilaku semacam itu jelas tak sama dengan makna dasar politik yang sesungguhnya.
Dalam pidatonya di tahun 1959 di hadapan Dewan Konstituante Bung Karno mengingatkan tentang pentingnya prinsip Res Publica dijadikan acuan lembaga tersebut dalam menyusun konstitusi baru. Pidato yang diberi judul “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica!” itu merupakan semacam kritik yang disampaikan kepada Dewan Konstituante yang dinilai terlalu lamban dalam menyusun konstitusi baru.
Padahal, kata Bung Karno dalam pidatonya itu, rakyat tengah menanti sebuah kepastian adanya konstitusi baru yang akan menjadi landasan bagi terwujudnya cita-cita keadilan sosial. Peringatan Bung Karno itu juga didasarkan atas kecenderungan kuat dari berbagai faksi politik di tubuh Dewan Konstituante untuk memperjuangkan kepentingannya secara sengit dengan akibat: terabaikannya kepentingan publik yang lebih luas. Dalam konteks inilah pidato Bung Karno yang berjudul “Res Publica, Sekali Lagi Res Publica!” itu diletakkan.
Di tahun yang sama, pada peringatan proklamai kemerdekaan RI yang ke 19 (17 Agustus 1959), Bung Karno mencanangkan sikap politik yang semakin tegas. Dalam pidato yang diberi judul olehnya sebagai “Penemuan Kembali Revolusi Kita” itu tercetus manifesto politik dengan penekanan pada dikembalikannya haluan negara menuju keadilan sosial (sosialisme Indonesia).
Dalam pidatonya itu Bung Karno menggariskan bahwa ranah demokrasi dan politik harus dikembalikan kepada sang empunya: rakyat. “Demokrasi harus menjadi alat Rakyat,” kata Bung Karno. Dari sisi ini jelas bahwa Bung Karno sama sekali tidak menentang demokrasi. Ia hanya mengritik kaum elit yang sengaja membajak dan membelokkan arah demokrasi untuk kepentingan mereka sendiri. Di mata Bung Karno, rakyatlah yang seharusnya memegang kendali demokrasi.
Sampai di sini Bung Karno tetap konsisten dengan sikap politiknya yang didasarkan atas kedaulatan/demokrasi rakyat (republikanisme) yang ditelah dicanangkan beberapa dasawarsa sebelumnya sebagai jalan menuju keadilan sosial—yang olehnya dinamakan sebagai Res Publica. Dari konsep yang ditawarkannya itu terlihat Bung Karno meyakini bahwa jika seluruh rakyat menjelma menjadi zoon politikon, maka upaya meraih cita-cita keadilan sosial akan lebih mudah diwujudkan.
Jika kekuasaan politik—termasuk institusi-institusi demokrasi—berada di bawah kendali rakyat, maka negara akan lebih mudah melaksanakan fungsinya sebagai distributor keadilan. Sebagai penganut prinsip keadilan distributif—sebagaimana yang tercermin dari Pasal 33 UUD’45—Bung Karno dan para Bapak Pendiri bangsa meyakini bahwa upaya mewujudkan Pasal 33 UUD’45 dimungkinkan jika kekuasaan negara berada di tangan rakyat yang sadar politik.
Dengan demikian, Res Publica sebagai acuan dipilihnya prinsip republik sebagai dasar negara dalam konstitusi 1945 yang dirumuskan Bung Karno dan para Bapak Pendiri Bangsa jelas bukan tanpa latar belakang dan tujuan. Pengalaman di bawah kolonialisme yang berakibat hilangnya harkat dan martabat manusia Indonnesia di segala bidang kehidupan merupakan faktor penting yang akhirnya membuat the founding fathers dengan kesadaran penuh dan visioner memilih kedaulatan rakyat (baca: demokrasi) sebagai dasar kekuasaan politik negara dan republik sebagai bentuk negara.
The founding fathers sangat memahami bahwa dengan dasar semacam itu, maka upaya menuju keadilan sosial dapat terlaksana. Hal ini mengindikasikan bahwa keadilan sosial hanya mungkin dicapai melalui jalan demokrasi (baca: kedaulatan rakyat).
Apa yang kita saksikan saat ini adalah munculnya kecenderungan menjauhnya proses politik dari prinsip dasar republikanisme sebagaimana yang dibangun oleh the founding fathers. Dalam rangka membangun basis legitimasi politik saat ini yang muncul di publik, elit politik tidak pernah mengajukan tawaran-tawaran rasional kritis yang berisi rancangan hari depan yang berkeadilan.
Yang menjadi barang ”dagangan” kalangan politisi untuk meraih dukungan adalah uang, kekerasan wacana termasuk penggunaan politik identitas secara ekstrem, yang kadang kala diimbuhi dengan upaya mempercantik wajah di media massa. Kemaslahatan publik (baca: res publica) tidak lagi menjadi landasan etis dalam berpolitik.
Di sisi lain, tahun politik yang ditandai Pilkada serentak 2018 ini serta kontestasi Pileg dan Pilpres 2019 mendatang oleh sejumlah kalangan dinilai akan menguatkan kembali politik identitas (baca: SARA). Jika ini yang terjadi, maka prinsip republikanisme yang menjadi inti konstitusi 1945 tidak saja akan semakin ditinggalkan, tetapi juga terancam oleh politik identitas—sebagaimana yang terjadi pada Pilgub DKI Jakarta tahun 2017 yang lalu.
Publik yang berintikan warganegara sebagai sebuah entitas —sebagai pemilik kedaulatan politik tertinggi—kini tengah dibelah melalui pengkotakan-kotakan politik melalui framing identitas primordial yang cenderung ekstrem. Padahal, cita-cita bernegara dalam bentuk keadilan sosial sama sekali tidak memuat unsur identitas primordial di dalamnya. Kalimat “bagi seluruh rakyat Indonesia” yang berada di belakang kalimat “keadilan sosial” menjadi bukti kuat bahwa para Bapak Pendiri Bangsa menempatkan kepentingan publik (baca: res publica) tanpa bias identitas primordial. [Rahadi T. Wiratama, Peneliti LP3ES dan Redaktur Jurnal Prisma]