Koran Sulindo – Ancaman Presiden AS Donald Trump untuk memangkas bantuan asing kepada negara-negara yang mendukung resolusi Majelis Umum PBB tentang Yerusalem dianggap angin lalu. Tidak penting!

Voting Majelis Umum akhirnya memutuskan 128 melawan, 9 menolak atas pernyataan Trump yang mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Sehari sebelumnya, Dewan Keamanan PBB gagal menyepakati resolusi 14-1 untuk menghormati “komposisi karakter, status dan demografis Kota Suci Yerusalem.”

Sebelum Trump menebar ancaman ‘bantuan’, neocon Nikki Haley yang menjadi duta besar AS di PBB bersumpah akan ‘mengingat nama-nama’ negara yang menentang deklarasi Trump itu.

Pada kenyataannya Amerika menghabiskan kurang dari satu persen anggaran tahunannya untuk bantuan luar negeri. Bantuan itu sebagian besar terkait dengan urusan militer dan sejauh ini Israel merupakan adalah penerima terbesar bantuan itu.

Sementara sekitar 85 persen sisanya dikucurkan kepada kepada LSM atau kontraktor pemerintah yang melayani kepentingan AS, dengan jumlah yang relatif lebih kecil langsung diberikan kepada pemerintah negara asing.

Lagi pula kecuali kepada Israel, hampir semua bantuan AS dilengkapi syarat-syarat ketat untuk memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada Washington. Melihat penentangan di Majelis Umum PBB nyatanya acaman Trump benar-benar tak mengubah banyak hal.

“Semua negara mengambil uang kami dan kemudian memberikan suara menentang kami di Dewan Keamanan atau majelis, mereka mengambil ratusan juta dolar dan miliaran dolar dan mereka memilih untuk menolaknya, ” kata Trump di Gedung Putih.

Well, mari kita lihat itu. Biarkan mereka memilih melawan kita. Kita akan menghemat banyak. Kami tidak peduli. Kami bosan negara ini dimanfaatkan dan kami tidak akan dimanfaatkan lagi,” kata Trump lagi.

Jelas yang dikatakan Trump berbanding terbalik dengan praktiknya. Justru Amerika yang  dengan kasar dan telanjang memanfaatkan bangsa-bangsa laun dan orang biasa di seluruh dunia. Bukan sebaliknya.

Amerika adalah negara paria, dan bersama Trump negara itu membuat lebih banyak musuh daripada teman. Agenda Trump dan campur tangan demagogis membuat keadaan negara yang menyedihkan itu menjadi semakin buruk sejak ia menjabat.

Di dalam negeri, ‘berselimut’ kekuatan gelap, Trump dicerca karena mengkhianati kepentingan publik dan mengingkari hampir semua janji membantu orang-orang kebanyakan. Ia secara eksklusif hanya melayani orang-orang istimewa. Terutama Wallstreet, Pentagon, penerima manfaat militerisme dan perang, serta investor-investor besar.

Berbeda dengan semua pendahulunya tak seorangpun bisa melepaskan diri dari kesimpulan Trump adalah presiden yang aneh, liar, tanpa kesopanan dan tanggung jawab moral apapun.

Dalam waktu kurang dari setahun, yang absurd menjadi norma, ketidaktahuan menjadi kebajikan, dan berbohong menjadi bagian hari-hari menyedihkan Amerika. Penyimpangan moral, ketenaran, vulgar, dan kebohongannya berada di luar batas kelainan manusia.

Mestinya, dengan perilaku, pernyataan publik, dan tweet kasarnya kesalahan tak semata-mata ada dipundak Trump. Partai Republik yang mengusungnya juga sama bersalah karena menggadaikan nasib negara tersebut kepada orang yang secara mental tidak stabil. Mereka harus harus bertanggung jawab atas kerusakan yang mungkin tak dapat diperbaiki oleh ‘kepemimpinan’ global dan moral global Amerika.

Mengatakan bahwa ia sombong justru mengecilkan kecenderungannya sebagai tukang pamer. Ia terus-menerus mengklaim bahwa dirinya lebih pintar dari semua orang di sekitarnya, bahkan menghina militer AS dengan mengatakan “Tidak ada yang lebih besar atau lebih baik di militer daripada saya” atau ketika suatu dia mengejek, “saya tahu lebih banyak tentang ISIS daripada yang dilakukan para jenderal.”

Tidak heran Trump tidak bisa tidur di malam hari karena merasa berkewajiban untuk ‘mencerahkan dunia’ dengan aliran tweet-nya pagi-pagi.[TGU]