Koran Sulindo – Dalam artikel berjudul “Parlementerisme en Directe Actie” (Parlementer dan Aksi Langsung), di majalah Het Tijdschrift, edisi Agustus 1912, Ernest Douwes Dekker menulis:
“…Perjuangan melawan kapitalisme tidak memperhitungkan bahwa kapitalisme sendiri juga sibuk mempertajam diri…
Sekarang akhirnya hal ini akan dilihat orang. Orang mulai paham bahwa senjata senjata yang lain juga bisa digunakan, setelah sebelumnya parlementarisme tidak digunakan lagi. Semakin kelihatan bahwa sabotase dan sindikalisme memperoleh banyak dukungan.
Dari politik omong menjadi politik aksi. Aksi segera. Aksi…”
Masih dalam artikel yang sama, Ernest Douwes Dekker melanjutkan:
“….Negara modern adalah juga kapitalis dalam imprealismenya. Negara modern mengeksploitasi koloninya sebagai kecenderungan imprealis-kapitalis, juga tidak pernah menjauh dari politik kekuasaan, yang melatih penghambaan para politisi kepada kekuasaan…
Lantas, pertimbangan apakah yang bisa dilihat bahwa jalan di atas (parlementer) sebagai kemungkinan untuk memperbaiki nasib kelas pekerja? ….imperialisme modern hanya dapat dihancurkan melalui politik aksi.”
Sasaran kritik tulisan ini terutama, tentu saja, Kerajaan Belanda serta aparatusnya di pemerintah kolonial Hindia-Belanda. Lantas bentuk-bentuk politik aksi seperti apa yang disarankan Ernest Douwes Dekker? Dalam tulisan ini tidak tergambar dengan jelas. Gambaran itu malah lebih jelas jika kita menelusuri kiprah dan jejak langkah penulisnya sendiri.
Lahir di Pasuruan, tahun 1879, Ernest termasuk golongan Indo, karena ibunya memiliki darah Jawa. Sejak muda, ia sudah bersimpati kepada orang-orang tertindas, terutama kalangan buruh perkebunan kopi dan gula di Jawa. Rasa simpati ia tunjukkan secara terbuka dengan membela kepentingan orang-orang tertindas itu, meski harus kehilangan pekerjaan.
Di akhir abad 19, Ernest bahkan nekad menceburkan diri dalam Perang Boer di Afrika Selatan. Ia berperang di pihak orang-orang Boer, para petani asal Belanda yang memberontak melawan kesewenangan pemerintah kolonial Inggris di sana.
Sekembali ke tanah Jawa, di tahun 1903, Ernest memilih lapangan jurnalistik sebagai medan politik aksinya. Di media tempat ia bekerja, tulisan-tulisannya selalu kritis terhadap kebijakan pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang menindas kaum pribumi. Ia juga merekrut para kaum muda untuk terjun dalam pergerakan kebangsaan.
Di akhir 1912, bersama Suwardi Suryaningrat dan Tjipto Mangunkusumo, ia mendirikan Indische Partij, organisasi politik pertama di masa itu yang secara tegas mencanangkan semboyan “Hindia untuk orang Hindia”, atau memperjuangan kemerdekaan Hindia (Indonesia) dari Belanda. Dan sepanjang karir politik pergerakannya, Ernest Douwes Dekker tetap konsisten di jalur non-kooperasi. Ia tidak pernah menerima tawaran menjadi anggota Volksraad, parlemen yang dibentuk pemerintah kolonial Hindia-Belanda.
Ditengah semerawutnya situasi politik Indonesia hari-hari ini, terutama di parlemen, politik aksi yang digerakkan Ernest Douwes Dekker dan tokoh-tokoh pergerakan kebangsaan, layak untuk diteladani. Tentunya, cara dan format politik aksi harus disesuaikan dengan kondisi zaman.[Imran Hasibuan]