Ilustrasi: Polisi membawa barang bukti dalam penggrebekan terduga teroris di Bandung, Selasa 15 Agustus 2017/AFP-Timur Matahari

Koran Sulindo – Mabes  Polri kembali mengingatkan pentingnya pengesahan Revisi Undang-undang (UU) No. 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU yang berlaku kini menghambat polisi dalam melakukan penindakan terorisme karena hanya bisa bergerak jika pelaku sudah terbukti melakukan tindakan terorisme.

Kemudian, polisi bisa menahan dan menggali informasi dalam waktu 7 hari dan pengintaian baru bisa dilakukan setelahnya. Ketiga, polisi hanya bisa bersifat responsif bertindak jika ada aksi teror.

“Kewenangan mencegah pelaku dalam aksi sangat lemah,” kata Kadiv Humas Polri Irjen Setyo Wasisto, di Jakarta, Rabu (23/5/2018), seperti dikutip ntmcpolri.info.

Revisi UU 15 Tahun 2003 itu sudah diajukan pemerintah ke DPR tak lama setelah aksi teror bom di Jalan Thamrin Jakarta, 2 tahun lalu.

Setelah aksi terorisme di Mako Brimob dan rentetan serangan di Jawa Timur lalu, Presiden Joko Widodo mendesak DPR segea mengesahkan RUU Terorisme itu, jika tidak pemerintah segera menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu)

Menurut Setyo, RUU baru itu memberikan wewenang lebih pada Polri untuk melakukan fungsi pencegahan.

“Penanganan terpadu dan efektif butuh payung hukum yang lebih kuat,” katanya.

Di DPR, lamanya pembahasan RUU itu, selain karena begitu banyaknya masa reses parlemen sejak 2014 lalu, juga karena berhenti pada beberapa perdebatan, terutama Pasal 1 Ayat 1 tentang definisi giat terorisme.

Perdebatan juga berlarut-larut pada Pasal 25 Ayat 2 tentang perpanjangan penahanan untuk terduga teroris; Pasal 31 Ayat 1 B tentang penyadapan terhadap terduga teroris; Pasal 12b Ayat 5 tentang pencabutan kewarganegaraan; Pasal 43 a tentang penahanan seseorang terduga selama 6 bulan; dan Pasal 43b Ayat 1 tentang bantuan TNI dalam penanggulangan terorisme.

“Selain itu, pembahasan ujaran kebencian juga perlu dimasukkan untuk memperkuat UU ITE,” kata Setyo.

Operasi Tinombala

Sebelumnya, Kapolri Jenderal Tito Karnavian mengakui telah meminta Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto agar TNI dilibatkan untuk masuk bergabung dalam operasi memerangi terorisme.

“Saat ini yang terjadi adalah mekanismenya mirip seperti Operasi Tinombala, dimana kekuatan TNI dan Polri bergabung dalam rangka bersama-sama menangani itu,” kata Kapolri, di Istana Negara Jakarta, Selasa (22/5/2018), seperti dikutip setkab.go.id.

Menurut Kapolri, operasi memerangi terorisme di Indonesia ini 75 persen adalah intelijen, operasi dalam rangka untuk persiapan untuk pemberkasan untuk ke pengadilan sebesar 20 persen, sementara operasi penindakan (striking) hanya 5 persen.

“Jadi prinsip penanganan terorisme itu adalah bagaimana memenangkan dukungan publik. Kalau publik mendukung langkah-langkah pemerintah, negara, maka terorisme tidak akan bisa berkembang,” kata Tito.

Problem Bersama

Terkait kelanjutan nasib anak-anak yang diindikasikan terlibat dalam aksi terorisme di Surabaya dan Sidoarjo, Kapolri meminta semua pihak bekerja sama, baik pemerintah, Kementerian PPA (Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), dan Kementerian Sosial.

“Ini adalah problem kita bersama, silakan bagaimana kita mencegah supaya keluarga-keluarga, jangan sampai anak-anak terbawa, istri sampai terbawa dan lain-lain. Di samping tentunya orang tuanya ya yang perlu kita tangani, cegah jangan sampai mereka melakukan aksi terorisme,” katanya.

Setelah dilakukan investigasi, Polri menduga aksi bom yang ada di Surabaya terkoneksi dengan penyerangan di Polda Riau dan insiden di Mako Brimob. Aksi itu dilakukan kelompok Jamaah Ansharut Daulah (JAD) yang memiliki afiliasi dengan ISIS di Syria.

Polri didukung dengan TNI telah melakukan penindakan sehingga dalam waktu 8 hari, antara 13 Mei sampai 21 Mei, menangkap 74 orang,  14 orang di antaranya meninggal dunia karena melawan.

“Penangkapan antara lain di Jawa Timur 31 orang, Jawa Barat 8 orang, Banten 16 orang, kemudian di daerah Sumatra bagian Selatan 4 orang, Riau 9 orang, dan Sumatra bagian utara 6 orang,” kata Tito.

Kapolri juga mengingatkan aksi terorisme hanyalah puncak gunung es, sementara akar gunung esnya  meliputi permasalahan-permasalahan yang cukup komprehensif, antara lain ekonomi, ideologi, keadilan, dan ketidakpuasan. [DAS]